Putu Sudiana Bonuz menggebrak pengujung tahun 2019 dengan menggelar seri lukisan terbarunya di Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, Bali. Dalam pameran bertajuk Soundsibility, perupa asal Pulau Nusa Penida ini menampilkan karya-karya yang diilhami oleh kekuatan suara.
Seri lukisan mutakhir Bonuz merupakan upaya artistik untuk mengungkapkan apresiasi yang mendalam terhadap suara sebagai suatu daya kehidupan. Bagi Bonuz, suara adalah kekuatan fundamental yang mendasari eksistensi alam semesta.
Dengan intuisi dan imajinasinya, Bonuz mendengar “suara semesta”. Seniman kelahiran 1972 ini menangkap getaran daya kehidupan yang berdenyut di mana-mana, lalu melukisnya seperti seorang komponis menulis notasi untuk menciptakan musik dari lautan suara.
Bercorak ekspresionisme abstrak, lukisan Bonuz menampilkan drama visual seru. Ada sensasi kecepatan yang akut dalam karya-karyanya. Sering terlihat kesan kuat tentang sesuatu yang meledak.
Citra yang begitu semarak dengan tarian rancak warna dan bentuk pada kanvas terasa muncul dari suatu ledakan dahsyat, bagaikan alam semesta yang baru saja tercipta beberapa saat setelah Ledakan Besar. Bidang kanvas seakan langit yang mementaskan drama kosmis.
Bonuz mengaku bahwa ketika melukis, dirinya cenderung mengandalkan spontanitas. Ia hampir tidak pernah memikirkan terlebih dahulu hendak melukis apa. Segalanya terjadi pada saat pelukisan, tanpa direncanakan. Pertimbangan artistik tetap ada, tetapi tidak menentukan.
Intervensi atau kalkulasi pikiran dalam proses melukis bahkan dihindari Bonuz. Itu sebabnya ia suka melukis sambil mengobrol atau mendengarkan obrolan.
“Tujuannya untuk mengalihkan pikiran dari proses melukis. Pikiran ada di obrolan, perasaan dan tangan terfokus di lukisan. Kalau banyak pertimbangan pikiran ketika melukis, misalnya soal warna atau komposisi, lukisan jadi kaku. Karena saya melukis abstrak, memulai dan mengakhiri proses melukis lebih ditentukan oleh keputusan hati,” ungkap Bonuz.
Meski terasa meledak-ledak seperti karakter pelukisnya yang ekspresif, lukisan Bonuz tidak bercerita tentang kekacauan semata. Sebaliknya, karya Bonuz menyiratkan aspirasi untuk memberikan struktur, suatu harmoni, pada kekacauan.
Dalam lukisan Bonuz hampir selalu terdapat unsur keteraturan di tengah ketidakberaturan. Ada elemen reguler di tengah lanskap ireguler. Unsur keteraturan itu sering berupa garis-garis atau setrip-setrip paralel yang bisa sangat rapi, bentuk siku-siku yang memagari ruang, pola kotak-kotak dan struktur repetitif lainnya. Elemen-elemen reguler tersebut memberikan ritme, juga menyisipkan jeda, pada keriuhan suasana.
Keliaran dan spontanitas ungkapan abstrak yang mendominasi bidang lukisan Bonuz tidak berakhir sebagai derau belaka, melainkan bertransformasi menjadi “musik”. Lukisannya memperlihatkan lapisan-lapisan citraan yang dapat dibaca sebagai mencerminkan struktur bunyi musikal yang berlapis-lapis.
Bidang-bidang warna pada lukisan Bonuz ibarat akor-akor suatu komposisi musik. Pada permukaan lukisan, menindih bidang-bidang warna yang menjadi latar belakang, garis meluncur meliuk-liuk seperti melodi. Suatu efek musikal merebak dari kombinasi antara struktur bidang latar yang dinamis dan unsur garis yang imajinatif dalam lukisan.
Sesungguhnya tidak mengherankan jika musik meresapi lukisan Bonuz. Aktivitas yang banyak melibatkan suara, termasuk musik, memang tidak terpisahkan dari kehidupan Bonuz.
Selain perupa, Bonuz juga seorang pendeta adat Hindu-Bali (pemangku), yang tentu kerap melantunkan doa atau mantra. Ia suka menulis puisi dan membacakan puisinya di panggung pertunjukan diiringi musik. Ia penggemar musik, bergaul akrab dengan banyak musikus dan sering terlibat dalam proyek musik mereka.
Jadi, bukan sesuatu yang aneh atau mengada-ada jika Bonuz, secara sadar atau tidak, mendasarkan praktik seni lukisnya pada pencarian dan penjelajahan hubungan esensial antara suara dan rupa.
Pameran Soundsibility oleh Putu Sudiana Bonuz berlangsung mulai 28 Desember 2019 hingga 28 Januari 2020. NAWABALI
Leave a Reply