Sepasang mata bening
Di balik langit kalbu
Malaikat berbisik
Tuhan butuh malaikat baru
Puisi empat larik berjudul “Tuhan Butuh Malaikat Baru” karya penyair Tan Lioe Ie mengalun dari panggung. Musik membalut kata-kata puitik yang sarat makna. Mengirim pesan kemanusiaan ke seluruh penjuru malam.
“Puisi ini saya tulis mengingat manusia di bumi ini mulai kehilangan ruh kebajikannya. Ego berdasar primordialisme semakin mencuat. Potensi konflik meninggi. Dan itu tidak elok, sehingga dibutuhkan lebih banyak lagi manusia berhati malaikat,” ujar penyair yang juga vokalis grup band Bali PuisiMusik.
“Tuhan Butuh Malaikat Baru” merupakan salah satu lagu anyar yang ditampilkan Bali PuisiMusik di Antida SoundGarden, Denpasar, Jumat malam, 6 Maret. Puisi “Tuhan Butuh Malaikat Baru” sebenarnya tidak baru, dimuat dalam buku Malam Cahaya Lampion Tan Lioe Ie yang terbit pada 2005. Situasi dunia yang belakangan terasa rawan dengan berbagai pertikaian maupun bencana tampaknya membuat Bali PuisiMusik tergerak melagukan puisi lawas itu.
Pesan kemanusiaan tidak hanya terpancar dari lagu-lagu berbasis puisi yang dibawakan Bali PuisiMusik. Semua personil Bali PuisiMusik tampil mengenakan kaus putih bertuliskan “Wuhan Jiayou”. Kaus ini diproduksi sekelompok perupa Bali yang menggelar pameran solidaritas untuk kota Wuhan, Tiongkok, yang dilanda wabah virus corona.
“Acara solidaritas itu direncanakan sebelum virus corona menyebar ke Indonesia. Sekarang Indonesia juga harus kita semangati, Indonesia Jiayou,” kata Yoki, sapaan akrab Tan Lioe Ie.
Pentas Bali PuisiMusik dibuka dengan pembacaan puisi. Tampil dua sastrawan yang sudah tidak asing lagi di jagat sastra Bali, Ayu Winastri dan Mira MM Astra. Dengan gaya rileks dan komunikatif, Ayu membawakan beberapa puisi dari buku mutakhir Tan Lioe Ie, Ciam Si. Mira juga membacakan sejumlah puisi Yoki dengan penampilan teatrikal bernuansa Tionghoa.
Acara dilanjutkan dengan penampilan tunggal Yoki. Pria berumur 60-an yang masih energik ini melantunkan lima lagu dengan iringan gitar akustik yang dimainkannya sendiri. Lagu pertama, “Aku Danau, Aku Laut”, merupakan gubahan baru.
Yoki juga menyanyikan beberapa lagu yang diangkat dari puisi penyair sepuh Umbu Landu Paranggi, yaitu “Upacara XXXVII”, “Upacara XXII” dan “Kuda Putih”. Lagu-lagu berlirik puisi Umbu ini termuat dalam album Bali PuisiMusik, Kuda Putih Remastered.
Setelah tampil kalem dengan duduk di kursi sendirian, Yoki menggebrak dengan aksi panggungnya yang ekspresif bersama Bali PuisiMusik. Grup band ini hadir dengan formasi lengkap. Selain Yoki pada vokal, ada Yande Subawa pada gitar, Made “Dek Ong” Swandayana pada kibor, Putu Indrawan pada bas dan Nyoman “Kabe” Gariyasa pada drum.
Ditingkahi gerak mirip kungfu bercampur yoga, Yoki menyanyikan enam lagu. Salah satunya, “Exorcism”, dibawakan dengan gaya seperti kesurupan. “Lagu ini diilhami kisah Yesus mengusir roh jahat yang merasuki orang, dan memindahkan roh itu ke dalam babi,” papar Yoki. “Pesan lagu ini: Wahai penindas, kembalilah jadi babi!”.
Paling menarik, Yoki juga tampil melantunkan puisi terkenal mendiang penyair besar Indonesia, W. S. Rendra. Judulnya, “Blues untuk Bonnie”. Puisi panjang ini memiliki tempat tersendiri dalam kenangan Yoki. “Bertahun-tahun yang lalu, saya tampil dalam acara sastra bersama Rendra di sebuah sekolah. Saya minta Rendra membacakan puisi ‘Blues untuk Bonnie’. Ternyata bersedia. Rendra bilang membacakan puisi itu untuk saya,” ungkap Yoki.
Mendung tebal dan gerimis kecil yang sempat menghiasi malam tak menyurutkan semangat penonton untuk menikmati sajian bergizi tinggi dari Bali PuisiMusik. Sebagian penikmat bahkan menari-nari ketika Yoki menembangkan puisinya yang terkenal, “Co Kong Tik”. NAWABALI
Leave a Reply