TARI Sang Hyang Dedari dari Bali telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia. Tarian sakral ini ditarikan oleh anak-anak perempuan dengan melibatkan komunitas penyanyi gending dan segenap warga desa.
Saat ini, Desa Adat Geriana Kauh di Karangasem, Bali, merupakan satu-satunya desa di Pulau Dewata yang konsisten menjalankan praktik ritual tari menyambut panen itu. Tak heran, ada kekhawatiran tentang kelestarian Tari Sang Hyang Dedari di tengah laju perubahan yang sangat pesat melanda Bali.
Guna melindungi Tari Sang Hyang Dedari dari ancaman kepunahan, Museum Sang Hyang Dedari Giri Amertha diluncurkan di Desa Adat Geriana Kauh pada 12 November. Museum ini berdiri berkat kerja sama Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (Pengmas FIB UI) yang terdiri dari dosen filsafat, Dr. LG Saraswati Putri, dan dosen arkeologi, Dr. Ali Akbar, dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI serta masyarakat adat Geriana Kauh.
Museum Sang Hyang Dedari Giri Amertha hadir sebagai pusat dokumentasi Tari Sang Hyang Dedari. Koleksinya mencakup foto, tulisan, tayangan audio visual serta lontar berisi nyanyian Tari Sang Hyang Dedari.
Dengan luas bangunan sekitar 100 meter persegi, Museum Sang Hyang Dedari Giri Amertha berdiri di tengah Desa Adat Geriana Kauh yang asri dan kaya budaya. Desa ini terkenal dengan sawah padi organiknya yang memikat wisatawan.
Museum Sang Hyang Dedari Giri Amertha mulai dibangun pada 2016. Meletusnya Gunung Agung pada September 2017 sempat menghentikan pembangunan museum. Beruntung, bangunan museum tetap berdiri tegak. Penataan interior dan diorama yang menampilkan Tari Sang Hyang Dedari pun dapat dilanjutkan. Pembangunan fisik museum selesai dikerjakan pada akhir November 2018.
Sejak 2016, Saraswati dan tim telah terjun ke Desa Adat Geriana Kauh untuk menjalin pengertian dan kerja sama dengan masyarakat setempat. “Kami melihat bahwa masyarakat Desa Adat Geriana Kauh menyadari akan pentingnya melestarikan warisan budaya leluhur mereka. Untuk itu, kami menggagas untuk membangun museum ini sehingga dapat menjadi penopang keberadaan Tari Sang Hyang Dedari,” papar Saraswati.
Tim Pengmas FIB UI juga turut meningkatkan kapasitas masyarakat dengan memberikan edukasi pengelolaan museum. Tujuannya agar masyarakat setempat dapat menjalankan operasional museum secara swadaya dan profesional. Pemberian bekal kemampuan manajerial ini penting karena seusai diluncurkan, Museum Sang Hyang Dedari Giri Amertha diserahkan kepada masyarakat. Bangunan museum seisinya menjadi milik komunitas dan dimanfaatkan untuk kepentingan warga desa.
“Kami mengarahkan warga adat setempat untuk dapat mempertahankan tradisi mereka, sehingga ke depannya diharapkan Desa Adat Geriana Kauh dapat menjadi pusat ekowisata desa,” tambah Saraswati. Aksi nyata Tim Pengmas FIB UI dalam membangun kapasitas dan kemandirian komunitas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. NAWABALI
Pingback: Saras Dewi: Menjaga Bumi, Merawat Tradisi Masa Lalu Bali – Nawabali.id