SUASANA di Ksirarnawa siang itu terasa meriah. Warna abu-abu dan putih menguasai gedung pementasan utama di Taman Budaya Bali itu. Siswa-siswi SMA yang memadati ruangan bangkit berdiri dari kursi penonton. Mereka serempak bergoyang mengikuti irama musik yang mengalir dari panggung. Seorang laki-laki berambut panjang putih melantunkan syair unik:
Yang kecil di bumi
dibesarkan di langit
…
Soja Kui
Soja Kui
Soja Kui
Salam takzim anak-cucu
Muda-mudi berseragam SMA itu tengah menikmati sajian musik Bali PuisiMusik. Kelompok musik dari Denpasar ini dikomandani Tan Lioe Ie, penyair senior Bali ternama. Meski usianya sudah 60-an, laki-laki yang akrab dipanggil Yoki ini masih begitu energik. Mengenakan t-shirt, celana jeans dan sepatu sport, Yoki tampil “garang” dengan aksi panggung atraktif selama sekitar 30 menit pementasan Bali PuisiMusik.
Bali PuisiMusik beranggotakan Yoki sebagai vokalis, Yande Subawa pada gitar, Putu Indrawan pada bas, Nyoman “Kabe” Gariyasa pada drum dan Made Dibia “Dek Ong” pada kibor. Dibentuk satu dekade silam, Bali PuisiMusik adalah kelompok musik spesialis puisi. Mereka menampilkan musik yang digubah dari puisi. Yoki bertindak sebagai komposer. Aransemen musik dikerjakan oleh Yande Subawa.
Berikut ini wawancara Nawabali dengan Yoki.
Apa konsep Bali PuisiMusik?
Sinergi puisi dan musik. Kedua kesenian ini sama mulia. Yang satu bukan subordinat dari yang lain.
Puisi siapa saja yang dibawakan oleh Bali PuisiMusik?
Selama ini kami membawakan puisi saya sendiri dan puisi penyair Umbu Landu Paranggi.
Apakah sajian Bali PuisiMusik dapat disebut musikalisasi puisi?
Saya lebih suka istilah “puisi-musik”, karena lebih menunjukkan puisi dan musik bersinergi, bersenyawa. Kalau “musikalisasi puisi”, kesannya puisi tidak musikal, sehingga perlu dimusikalisasi. Padahal puisi sudah musikal.
Apakah Bali PuisiMusik sudah memiliki album rekaman?
Ada dua album. Exorcism dan Kuda Putih remastered. Dalam album Kuda Putih, ada puisi saya dan puisi Umbu.
Jenis musik apa yang dimainkan Bali PuisiMusik?
Beragam. Ada blues, minor blues, classic rock, jazz, punk. Keberagaman ini konsekuensi dari konsep sinergi, agar tak ada yang dikalahkan, baik puisi maupun musik.
Blues yang kami mainkan termasuk 12 bars blues dan one chord blues yang eksplosif. Ini tak lazim, karena 12 bars blues dan one chord blues biasanya “introver”, karena blues dilahirkan oleh kaum Afro-Amerika di Amerika pada era perbudakan dulu. Meski “marah” karena diperbudak, mereka tak mungkin meledakkan kemarahan dalam musik blues. Kami pikir, setelah sekian lama, kok masih intover? Maka kami ledakkan “kemarahan” itu pada blues kami pada lagu “Exorcism” dan “Malam Cahaya Lampion”.
Penonton remaja tampak sangat menikmati Bali PuisiMusik. Apakah Bali PuisiMusik sengaja membidik kawula muda?
Dari pengalaman saya, khalayak yang menikmati Bali PuisiMusik tak hanya kalangan muda. Di berbagai acara sastra, baik di Bali dan luar Bali, penikmatnya lintas usia. Bali PuisiMusik tidak hanya tampil di Bali. Kami juga pernah pentas di Aceh, Surabaya, Tanjungpinang, Ternate, Jakarta dll. Juga saat saya tampil di Europalia Arts Festival di Belgia, apresiasi penonton bagus. Ketika itu saya tampil tunggal dengan musik minus one dari Bali PuisiMusik. Ini sesuai misi kami agar puisi diterima lintas segmen masyarakat.
Tapi saya memang kerap “terjun di lapangan” memberi workshop untuk anak muda, juga guru, karena peran guru penting bagi siswa. Tak hanya di Bali, juga di Banggai, Sulawesi Tengah, dan Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kami ingin membuat mereka awalnya tertarik pada puisi-musik, dan selanjutnya juga meneruskan ketertarikannya pada puisi, utamanya jika mereka mulai menggubah puisi-musik.
Ada pengalaman menarik saat mementaskan puisi-musik?
Banyak. Dalam acara di Klungkung, seorang siswa berkata, “Ternyata puisi tidak jutek“. Lalu, saat kami pentas di kawasan wisata Anjung Cahaya, Tanjungpinang, ketika melihat penonton awam meninggalkan pertunjukan dramawan Putu Wijaya, penyair Joko Pinurbo berkata kepada saya, “Mestinya band-mu lebih lama pentasnya”.
Suatu hari, saat menyaksikan kami pentas di Warung Tresni, Denpasar, bos Casablanca Sanur berseru, “I want your explosive blues!” Saat kami tampil di Casablanca, penonton yang mayoritas orang asing minta tambah lagu. Padahal ada beberapa band yang tampil saat itu, tapi mereka membawakan lagu orang lain.
Di Kuta, ada orang asing menghampiri saya. “You are surprising,” katanya. Usai kami tampil di acara UWRF (Ubud Writers and Readers Festival), beberapa orang asing juga mendekati saya dan berkata, “It was great“. Mantan tour manager The Rolling Stones, Sam Cutler, usai menonton kami tampil, menyalami dan memeluk saya. “I like your music,” katanya.
Jadi, jika orang asing saja bisa menikmati, maka bagi orang Indonesia yang sebahasa, pasti lebih mudah mengapresiasi. NAWABALI
Leave a Reply