Geguritan Salampah Laku merupakan karya sastra besar oleh pengarang besar Bali abad ke-20, Ida Pedanda Made Sidemen (1858-1984). Ciri khas kepengarangan Ida Pedanda Made Sidemen dapat dibedah dengan analisis stilistika.
Kajian stilistika tidak hanya berupaya mengungkapkan penggunaan bahasa, tetapi juga hakikat penggunaan bahasa. Hakikat penggunaan bahasa secara tidak langsung mengungkapkan konsep dan ideologi seorang pengarang saat proses penciptaan dilakukan.
Pada teks cerita, banyak sastra yang dipelajari oleh Ida Pedanda Made Sidemen. Di antaranya, Bhairawa Kalpa Sanghara, Tantri Pisacarana dan Siwagama. Hal ini termuat dalam kutipan berikut:
lēn Bhairawā Kalpa Sanghara kasuhur
lēn Tantri Pisacarana Siwagama dennya nganggit
Terjemahan:
tentang Bhairawa dan Kalpa Sanghara juga diselusuri
tentang Tantri Pisacarana dan Siwagama juga diperoleh dengan jalan belajar
Beliau adalah seorang pedanda Siwa. Kegiatan nyurya sewana selalu dilakukannya setiap pagi. Hal ini juga didukung dengan penggalan teks “siwwa sakala pinanggih“, yang berarti ajaran Siwa yang sesungguhnya telah dipahami.
Seiring dengan hal tersebut, secara jelas pula dikatakan bahwa Ida Pedanda Made Sidemen juga menjalankan ajaran Buda:
salahe pacang tebusin
bawos Sang Hyang Buda dumun
Terjemahan:
akan menebus kesalahan
perkataan Sang Hyang Buda dahulu
Ida Pedanda Made Sidemen tidak secara gamblang menjelaskan tentang konsep Siwa maupun Buda. Teks Geguritan Salampah Laku memberikan gambaran mengenai keyakinan dan kepercayaan beliau. Dari awal perjalanan beliau dan pesan-pesan yang beliau tuliskan dalam teks geguritan ini memberikan penguatan terhadap kepercayaan itu.
Ida Pedanda Made Sidemen senantiasa mengajarkan kesederhanaan dalam pelaksanaan upacara. Sesungguhnya keberadaan konsep Tri Mandala (Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala) berkaitan dengan hal tersebut. Yadnya dapat dilakukan melalui tahapan yang mana pun tanpa mengurangi keikhlasan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karya sastra Geguritan Salampah Laku karangan Ida Pedanda Made Sidemen memiliki cara penceritaan dengan permainan kata, penggunaan istilah maupun metafora sebagai gaya (style) kepengarangan. Kisah yang termuat dalam geguritan ini merupakan kisah perjalanan hidup sang pengarang sendiri, yakni Ida Pedanda Made Sidemen, bersama istrinya saat menuju Gria Mandaragiri (Sidemen, Karangasem) untuk berguru kepada Ida Pedanda Rai.
Karya sastra ini memuat pesan-pesan kehidupan yang disampaikan Ida Pedanda Made Sidemen. Pemikiran dan ajaran yang beliau ingin sampaikan diselipkan di sela-sela pemenuhan konvensi pupuh dalam sebuah geguritan yang bernilai estetis. Hal tersebut menjadi gaya sastra seorang pengarang besar Bali abad ke-20. Beliaulah guru sejati dalam kesederhanaan hidup.
LUH YESI CANDRIKA, pemerhati sastra Bali
Leave a Reply