JALAN Gajah Mada dan sekitarnya telah ditetapkan sebagai kawasan pusaka di Denpasar. Kawasan tua yang pernah menjadi jantung kehidupan kota Denpasar ini perlu diremajakan. Dengan revitalisasi kolaboratif, kawasan ini diharapkan tidak hanya menjadi ikon pusaka yang bernilai historis, tapi juga mampu mendorong perkembangan ekonomi kreatif pada masa kini.
Demikian salah satu poin penting yang mengemuka dalam diskusi “Gathering Old Town Gajah Mada: Menghormati Kepusakaan untuk Memajukan Kreativitas” yang digelar pada 30 Desember 2019. Acara yang berlangsung di gedung Dharmanegara Alaya ini menghadirkan sejumlah tokoh sebagai narasumber. Selain Wali Kota Denpasar, I.B. Rai Dharmawijaya Mantra, ada I.B. Ngurah Wijaya, Prof. I Nyoman Darma Putra, I Ketut Siandana, I Putu Yuliartha dan Marmar Herayukti. Diskusi dipandu oleh Marlowe Bandem.
I.B. Rai Dharmawijaya Mantra, selaku pembicara utama, mengimbau semua pihak berkolaborasi dalam upaya revitalisasi kawasan Jalan Gajah Mada. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian melakukan revitalisasi. Keterlibatan segenap pemangku kepentingan beserta masyarakat luas diperlukan agar tercipta ekosistem yang menunjang kehidupan kawasan pusaka.
Menurut Wali Kota, revitalisasi perlu dilakukan secara kolaboratif melalui upaya-upaya kecil yang sederhana, bermakna dan berkelanjutan. “Semua pihak harus memiliki clue dan rasa yang sama untuk membangkitkan jiwa kawasan Jalan Gajah Mada,” tegas Rai Mantra.
Tokoh pariwisata, I.B. Ngurah Wijaya, menyoroti posisi vital kawasan Jalan Gajah Mada. Kawasan ini sejak dulu menjadi akses utama untuk menjangkau berbagai tempat di Denpasar. Dari kacamata pariwisata, Wijaya menyarankan agar kawasan ini dibikin senyaman mungkin untuk menarik pengunjung.
Senada dengan Wijaya, I Nyoman Darma Putra membeberkan sejumlah data sejarah yang menunjukkan kedudukan penting kawasan Jalan Gajah Mada di lanskap kehidupan multikultur masyarakat Denpasar masa lalu. Sebagai urat nadi kota yang berdenyut sejak lama, kawasan ini menyimpan banyak cerita. Darma Putra menyarankan cerita-cerita itu digali dan disebarluaskan untuk memasarkan kawasan historis Jalan Gajah Mada dalam konteks ekonomi kreatif kekinian.
I Ketut Siandana memaparkan desain yang digarapnya untuk proyek penataan fisik kawasan Jalan Gajah Mada. Arsitek kenamaan ini menyodorkan rancangan modern yang bernafaskan suasana tempo dulu. Filosofi tradisional, gaya artistik dan penanda ikonis historis dari masa silam diintegrasikan dalam desain kontemporer.
Marmar Herayukti menuturkan keterlibatannya dalam upaya revitalisasi kawasan Jalan Gajah Mada. Perupa muda Bali ini membuat mural di Gang Taman Beji Kresek, salah satu lorong di ruas Jalan Gajah Mada. Lukisan dindingnya menggambarkan kiprah Gusti Made Gede, pematung legendaris dari kawasan setempat. Marmar ingin menegaskan makna kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat kreativitas yang bisa menginspirasi anak muda zaman sekarang.
Narasumber terakhir, I Putu Yuliartha, menegaskan bahwa revitalisasi harus menghadirkan peradaban. Ketua Harian Badan Kreatif (BKraf) Denpasar ini menawarkan ide aktivasi gang-gang di Jalan Gajah Mada. “Gang-gang itu ibarat kanvas yang bisa digarap. Bisa dijadikan simpul-simpul kreativitas di bidang seni, wirausaha, kuliner dsb. Kita bisa bikin festival gang, festival kecil-kecil yang tematik,” ujar Yuliartha.
Dharmanegara Alaya
Pemerintah Kota Denpasar tampak serius ingin membangun basis ekonomi kreatif. Salah satu buktinya yang terbaru adalah kehadiran gedung Dharmanegara Alaya, tempat penyelenggaraan diskusi tentang kawasan pusaka itu. Graha megah di Jalan Mulawarman no. 1 Denpasar tersebut khusus disediakan sebagai sarana pengembangan kreativitas.
Diresmikan pada 27 Desember 2019, gedung Dharmanegara Alaya dilengkapi dengan fasilitas kreatif komplet. Ada ruang pertunjukan, ruang pameran, ruang diskusi, ruang lokakarya, ruang baca, ruang inkubasi, creative space, maker space, studio musik, studio film, studio fotografi, teater terbuka, radio publik, galeri mini dan kafe. Semuanya untuk menunjang beragam aktivitas kreatif, seperti pertunjukan, pameran, pelatihan, diskusi dsb.
Nama pusat kreativitas baru itu, Dharmanegara Alaya, mengingatkan pada nama Wali Kota Denpasar saat ini, I.B. Rai Dharmawijaya Mantra, dan wakilnya, I G.N. Jayanegara. Gedung Dharmanegara Alaya memang dibangun atas prakarsa dua pemimpin Denpasar itu. Namun ada makna lain di balik nama Dharmanegara Alaya.
Menurut Wali Kota Denpasar, Dharmanegara Alaya berarti rumah untuk penguatan kreativitas sebagai bentuk kewajiban negara terhadap warganya, atau sebaliknya sebagai kewajiban warga terhadap negaranya. Kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam pengertian seluas-luasnya, yang mencakup inovasi dan semangat meraih kesejahteraan bersama.
“Di gedung ini, aktivitas kreatif tak melulu ekspresi, tetapi juga mengemas dan menyebarluaskan ekspresi tersebut menjadi sesuatu yang memberi kemanfaatan ekonomi pada kreatornya, tanpa sedikit pun mengecilkan idealisme dan makna seni di dalamnya,” ujar Rai Mantra.
Dharmanegara Alaya bisa disingkat DNA. Singkatan ini muncul bukan tanpa disengaja. DNA menunjukkan keyakinan bahwa masyarakat Denpasar, juga Bali, sejatinya lahir dengan DNA kreatif yang sangat kuat. NAWABALI
Leave a Reply