HARI perlahan gelap. Baliho bergambar perempuan Bali yang mengenakan masker khas genosida zaman Perang Dunia Kedua, dengan mahkota cerobong asap industri, terpasang menutupi rak buku. Baliho itu menjadi latar panggung bagi musikus yang akan mengisi acara.
Malam itu merupakan malam pembukaan pameran tunggal Slinat yang bertajuk “Visit Bali Year”. Pameran seni rupa di Littletalks Ubud, Ubud, Bali, itu berlangsung selama satu bulan, mulai 19 Oktober sampai 19 November 2019. Acara tersebut merupakan rangkaian dari pergelaran UWRF (Ubud Writers and Readers Festival), salah satu festival internasional dari begitu banyak festival yang membanjir sepanjang tahun di Ubud pada khususnya, dan Bali pada umumnya.
“Visit Bali Year”adalah pameran sederhana di tempat yang memadukan perpustakaan dan kafe dengan ketenangan suasana. Lokasinya berjarak dari kebisingan Ubud yang penuh sesak dengan kendaraan, perlombaan akomodasi pariwisata beserta papan nama masing-masing, dan perjuangan penjaja jasa pariwisata di trotoar.
Selain kepadatan lalu lintas dan hamburan penjual jasa untuk wisatawan yang menikmati trotoar, kata “Ubud” kini juga mengingatkan pada kelas yoga dan meditasi serta makanan organik. Itulah gambaran dangkal yang hadir ketika melihat hal-hal yang mudah ditemukan di Ubud. Namun, bagi sebagian besar orang, terutama wisatawan, Ubud tetaplah wilayah spesial, khususnya ketika bicara soal industri pariwisata.
Tagline “Visit Bali Year” yang dipilih Slinat tidak baru. Tema “Visit Bali Year” telah didengungkannya sejak 2017. Awalnya, tema pameran yang menyerupai jargon kampanye promosi wisata itu dibubuhkan pada karya-karya Slinat di jalanan, yang kemudian dikemas dalam pameran tunggal pada pertengahan 2017.
“Awalnya tidak ada maksud untuk membuat ‘Visit Bali Year’ sebagai seri pameran. Namun karena karyaku masih bicara tentang isu yang sama, akhirnya aku putuskan membuat serinya,” jelas Slinat.
Pameran “Visit Bali Year” edisi pertama digelar Slinat di Uma Seminyak dua tahun yang lalu. Ketika itu, Slinat merekonstruksi gambaran eksotisme tentang orang Bali yang dibuat pemerintah kolonial. Rekonstruksi citra dilakukan dengan bentuk visual perempuan Bali yang mengenakan masker genosida perang dunia. Slinat seperti melempar pertanyaan: Apakah label eksotis masih akan disematkan jika warga Bali mengenakan masker?
Tema “Visit Bali Year” pertama kali dikampanyekan Slinat di Seminyak, sebuah desa urban yang telah berubah menjadi kantong penting industri pariwisata Bali. Industri pariwisata di Seminyak tidak saja berhasil memberikan setoran devisa dan pajak bagi pemerintah, tetapi juga mengangkat perekonomian setempat — meski belum tentu menyejahterakan seluruh masyarakatnya. Pariwisata tentu saja merubah lanskap Seminyak, baik lanskap alam maupun lanskap sosial.
Sementara itu, kombinasi sajian spiritual-seni-tradisi dan bentang alam membuat Ubud tidak pernah kehilangan tamu. Secara turun-temurun, Ubud selalu berhasil memikat wisatawan. Bahkan ketika pembangunan industri di Bali selatan dengan tawaran pantai dan pestanya berlangsung masif, Ubud tetap memiliki kekuatannya sendiri.
Pada titik ini, menjadi penting ketika kemudian Slinat membawa jargon yang pernah dikampanyekannya di Seminyak ke Ubud. Ubud adalah desa urban yang menjadi titik awal pertemuan seni dan pariwisata sampai keduanya akhirnya saling membutuhkan, saling bergantung dan berhubungan intim sampai hari ini. Hubungan seni dan pariwisata beserta branding yang mengikutinya hingga hari ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kelahiran Pita Maha, kelompok pelukis yang lahir di Ubud pada tahun 1930-an. Kelahiran Pita Maha mempengaruhi pembentukan identitas pariwisata Bali pada umumnya, dan Ubud pada khususnya.
Visual yang ditampilkan Slinat dalam pameran “Visit Bali Year” kali ini masih berupa citra perempuan Bali masa kolonial yang didefinisikan sebagai bentuk kebudayaan eksotis oleh agen pariwisata. Itulah rupa wanita yang kemudian dimanipulasi Slinat dengan menambahkan masker.
Perbedaan dengan pameran “Visit Bali Year” seri sebelumnya tentu ada pada jumlah karya. Mengingat konsep Littletalks Ubud yang lebih menekankan pada perpustakaan dan kafe, bukan galeri, maka ruang untuk pameran kali ini lebih kecil dan cukup sesak. Hal ini membuat karya yang ditampilkan tidak sebanyak dan sebesar karya-karya pada pameran seri terdahulu.
Meskipun demikian, pameran “Visit Bali Year” kali ini memperlihatkan bagaimana seorang seniman menyiasati ruang untuk bisa menyampaikan wacana yang ingin dilemparnya kepada publik. Rupa-rupa “perempuan eksotik” ala Slinat disajikan melalui media potongan kayu bekas perahu berukuran kecil. Media lain yang digunakan adalah tutup kaleng cat dan bongkahan talenan yang sudah rusak.
Slinat memang terkenal kreatif dalam perkara membubuhkan sentuhan seninya pada benda-benda sisa yang selama ini sering disepelekan dan dianggap tidak berharga. Kemahiran tersebut juga jelas terlihat di “Art of Whatever”, toko yang menjual karya-karya merchandise Slinat.
“Dia senang mengeksplorasi barang-barang yang orang lain anggap tidak berguna. Di tangan Slinat, barang-barang itu bisa menjadi bukan hanya berguna, tetapi juga memiliki nilai seni yang indah,” kata Djunaidi Kenyut, seniman yang malam itu menghadiri pembukaan pameran Slinat. Cara pandang Slinat dituangkan dalam bentuk karya visual dari barang bekas, misalnya kayu sisa perahu yang biasa teronggok di pantai atau tutup kaleng yang diabaikan orang.
Karya-karya yang dihadirkan melalui barang sisa menjadi sarana Slinat untuk menyampaikan pandangan kritis tentang situasi sosial di Bali. Dalam pengamatan Ratna, pengelola ruang seni Cata Odata, konsistensi dalam mengusung isu sosial memang menjadi daya tarik karya Slinat.
Pameran “Visit Bali Year” bukan hadir untuk menjual eksotisme Bali demi mempertebal kantong pemilik hotel besar yang kian menjamur. Bukan hadir untuk menjual budaya yang masih dihidupi warga Bali demi menaikkan pendapatan asli daerah, yang akhirnya bisa dihambur-hamburkan dalam bentuk bansos (bantuan sosial). Pameran “Visit Bali Year” dihadirkan untuk mengatakan bahwa ada cara pandang lain dalam melihat hubungan antara Bali dan pariwisata. Slinat menawarkan perspektif yang tidak mungkin akan disampaikan oleh para agen pariwisata yang kian makmur dari menjual Bali yang selalu dianggap “lestari dan harmonis”.
“Aku tidak berpikir pameran ini sebagai tandingan, tidak juga berpikir untuk duduk membuka ruang dialog terkait pariwisata. Aku lebih pada… ini lho, ada yang seperti ini. Ada cara pandang lain tentang Bali dan pariwisata,” ungkap Slinat.
Pameran seni rupa Slinat menuturkan bahwa pariwisata tidak hanya mempengaruhi, tetapi tanpa disadari telah membentuk identitas warga Bali. Identitas bentukan pariwisata yang melekat sampai hari ini tentu saja tidak lepas dari cara pemerintah kolonial dulu mem-branding Bali sebagai pulau eksotik yang harus dikunjungi. Salah satu media yang digunakan adalah poster yang menggambarkan Bali dan kehidupan penduduknya pada masa itu.
Dalam pameran “Visit Bali Year”, poster pariwisata zaman kolonial dihadirkan kembali oleh Slinat, tetapi dengan dibubuhi keresahan sang perupa melihat situasi perkembangan industri pariwisata yang begitu masif hari ini. Poster kuno yang diperoleh dari internet direspons sehingga menjadi poster baru untuk menerjemahkan slogan “Visit Bali Year” ala Slinat.
Pada poster yang bertuliskan “See Bali”, Slinat membubuhkan masker pada sosok perempuan telanjang dada yang menyunggi sesaji. Sesaji yang biasanya berupa buah juga diganti dengan minuman kaleng. Memang begitulah realitas hari ini. Persembahan hasil alam kini bisa berubah menjadi persembahan hasil toko. Hal ini tentu tidak lepas dari perubahan profesi penduduk Bali, dari yang awalnya bertani kini menjadi penyedia jasa pariwisata atau pegawai kantor.
Dalam karya lain, sosok perempuan telanjang dada membawa besek yang dulu didefinisikan dengan sebutan “native girl” (gadis pribumi), kini digambarkan mengacungkan jari tengah. Gesturnya tentu saja tidak mungkin dijadikan media promosi pariwisata. Namun itulah isyarat ketegasan sikap, agar orang luar tidak seenaknya menjadikan masyarakat lokal sebagai objek untuk didefinisikan sesuai dengan asumsi mereka sendiri yang belum tentu diinginkan oleh masyarakat tersebut.
Ada juga bongkahan kayu yang memuat tiga orang gadis yang memegang alu, alat tradisional untuk memisahkan sekam dari beras. Gadis paling kiri mengacungkan jari tengahnya, jari yang terlihat tidak anatomis, namun menunjukkan pernyataan tegas. Bayangkan jika pada zaman dulu para gadis bisa menolak dan mengacungkan jari tengah kepada orang-orang yang seenaknya mengambil foto dan kemudian mendefinisikan kehidupan mereka di sebuah pulau kecil sebagai surga terakhir. Itulah definisi yang kemudian membuat Bali terkenal dan memikat perhatian dunia sebagai lokasi menarik untuk dikunjungi. Jika saja mereka bisa melakukan itu, mungkin gamang bisa tetap tinggal dengan tenang di bantaran sungai tanpa was-was akan tergusur oleh kehadiran vila. Mungkin hotel-hotel tidak menjadi begitu angkuh menduduki sawah-sawah yang telah melahirkan apa yang dianggap sebagai daya tarik tradisi masyarakat Bali.
Pada poster lain, Slinat menggambarkan proses pembangunan pura dengan perancah masih terpasang, sebuah kontradiksi yang mudah kita jumpai di Bali dan mungkin saja tidak penting diketahui wisatawan. Bali yang dianggap begitu kuat memegang tradisi dan budaya tiba-tiba justru begitu masif mengganti bangunan yang memiliki nilai kultural dan historis. Pemugaran pura, bale banjar, candi bentar dan sebagainya dengan alasan untuk memperbarui bangunan sering terjadi. Perpaduan kebijakan adat dan susupan kepentingan tokoh politik yang masuk dalam bentuk bansos untuk “merehab” bangunan-bangunan tersebut tanpa disadari telah mengikis jejak sejarah hubungan bangunan dengan masyarakat dan alamnya. Bahkan lebih ekstrim, hal tersebut menyebabkan bangunan-bangunan yang sebelumnya beragam menjadi seragam.
Sebuah kalimat yang cukup menggelitik, “I have never seen anyone praying this beautifully, let me take a photo. CKLEK”, dihadirkan pada poster yang bertuliskan “VIA NETHERLANDS INDIES”, lengkap dengan pura dan bangunan yang berdesakan dan berlomba tampil menjulang. Kalimat tersebut seolah-olah mempertanyakan mengapa mereka menelan mentah-mentah iklan pariwisata yang digemakan. Cara hidup yang berbeda dianggap begitu indah dan menarik, sehingga seolah tak cukup disimpan dalam ingatan, dan harus diabadikan dalam bentuk gambar. Gambar itulah yang kemudian dijadikan media untuk memopulerkan Bali, sehingga Bali menjadi apa yang diasumsikan dalam kepala mereka.
Pameran “Visit Bali Year” dihadirkan Slinat sebagai sebuah cara pandang alternatif dalam melihat pariwisata. Fenomena menjadikan pariwisata sebagai panglima yang harus diutamakan tidak lahir begitu saja. Ada proses panjang yang bermula dari cara pemerintah kolonial membangun citra tentang Bali.
Seperti halnya promosi pariwisata yang membanjiri ruang publik lewat baliho atau brosur di restoran, kafe, bar dan ruang-ruang lain yang memungkinkan diakses banyak orang, Slinat bergerilya menjadikan karyanya sebagai media promosi untuk cara pandangnya dalam melihat pariwisata. Itulah cara pandang kritis yang melihat bahwa pariwisata Bali tidak melulu ramah dan menyejahterakan orang Bali, tetapi juga menghadirkan beragam persoalan.
Slinat memanfaatkan momentum penyelenggaraan festival internasional tahunan di Ubud untuk menyampaikan pandangannya itu. Ia manfaatkan peristiwa pertemuan para budayawan internasional untuk menyampaikan bahwa apa yang sesungguhnya terjadi tidak seperti yang terlihat di permukaan. Ia sodorkan sikap kritis terhadap industri pariwisata yang terlalu dielu-elukan.
Pameran seni rupa “Visit Bali Year” diselenggarakan di lokasi tempat kesenian berjumpa dengan pariwisata. Sang perupa melakukan “vandalisme” kreatif terhadap poster-poster promosi Bali era awal 1900-an. Menarik kita tunggu konstruksi Bali apa lagi yang akan dihadirkan Slinat pada seri pameran “Visit Bali Year” selanjutnya.
Tema “Visit Bali Year” masih cukup relevan untuk terus digulirkan dan digelembungkan guna memberikan cara pandang lain dalam melihat industri pariwisata yang oleh pemerintah pusat dan daerah dianggap sebagai motor penggerak Bali. Tema ini menjadi semakin relevan saat promosi pariwisata kian masif, ketika kini banyak desa tiba-tiba latah mengusung jargon “desa wisata” dengan menjual objek yang instagramable, tanpa benar-benar memahami potensi dan kesiapan sumber daya yang dimilikinya.
L. TAJI, penulis dan fotografer
Pingback: Tantangan Work From Bali dan Cara Mengatasinya - Nawabali.id