Siluet liliput-liliput meliuk. Sekumpulan manusia mungil melayang-layang bagaikan dedaunan kering tertiup angin. Berpusaran, bertebaran. Mereka begitu kecil di tengah keluasan ruang. Seakan-akan tak berdaya, mereka terisap dan tergulung gejolak energi di sekelilingnya.
Tak berdaya, namun bukan tak berarti. Mereka hadir membubuhkan ritme dan irama pada lanskap kekuatan buta. Mereka memberikan makna.
Dari kanvas ke kanvas, perupa Nyoman Sujana Kenyem bercerita tentang posisi inferior manusia di tengah kuasa alam. Manusia bukanlah pusat dalam cerita itu. Manusia ibarat helai-helai benang getas dalam karya tenun raksasa bernama Alam.
Kenyem menampilkan sederetan karya lukis terbarunya dalam pameran tunggal bertajuk TAXiDi 18. Berlangsung pada 26 Januari – 26 Februari, pameran ini digelar di Bidadari Mandala Art Space, Mas, Ubud, Bali.
Karya-karya Kenyem dalam pameran ini tampak menggemakan kesadaran ekologi dalam (deep ecology). Kesadaran ini merupakan lawan dari ekologi dangkal yang berpusat pada manusia. Dalam ekologi dangkal, manusia dipandang berada di luar atau di atas alam. Alam hanya objek bagi manusia.
Lukisan Kenyem terasa melawan pandangan ekologi dangkal. Dalam karya-karya perupa Bali kelahiran 1972 ini, manusia merupakan bagian integral dari alam. Wawasan ekologi dalam dikemukakan Kenyem melalui penggambaran figur-figur manusia yang tidak terpisahkan dari lingkungan alam. Manusia tidak tampil sebagai arsitek yang membentuk alam, melainkan sebagai salah satu elemen dari komposisi arsitektur alam.
Dunia di kanvas Kenyem bukanlah himpunan dari objek-objek terpisah. Diresapi kesadaran ekologi dalam, karya Kenyem menampilkan suatu dunia yang tercipta dari jaringan kompleks bentuk, garis dan warna. Itulah dunia tempat segalanya saling bertautan dan saling bergantung secara mendasar.
Melalui karya-karyanya, Kenyem tampak mengakui kesalingbergantungan fundamental semua fenomena. Bukan saja mengakui, ia bahkan merayakan kenyataan bahwa manusia – kita semua – melekat erat pada proses siklus alam.
Begitu memasuki ruang pameran Kenyem, pengunjung segera disambut oleh tarian warna-warni cerah yang meruah dari tepi ke tepi. Lukisan semi-abstrak berbaris di dinding, patung unik sederhana berjajar di meja panjang. Figur-figur dwimatra dan trimatra seperti menari.
Pameran Kenyem menghadirkan suatu koreografi citra visual yang terasa menggemakan kemeriahan suasana perayaan. Tidak ada kemuraman yang menghantui pesan ekologis tentang kelemahan manusia di hadapan kekuatan brutal alam. Semua disampaikan dengan bahasa rupa yang ceria. Judul-judul lukisan menegaskan atmosfir sukacita itu: “Celebrating the Harvest” (Merayakan Panen), “Harvest Season” (Musim Panen), “Golden Journey” (Perjalanan Emas), “Enjoy the Green Nature” (Nikmati Alam Hijau), “Welcome New Hope” (Selamat Datang Harapan Baru) dsb.
Barangkali Kenyem memang sedang merayakan sesuatu. Mungkin sesuatu yang dirayakan itu adalah perjalanan panjang Kenyem sendiri di dunia seni rupa. Setidaknya, itulah salah satu tafsir yang bisa ditarik dari judul pameran yang cukup asing di telinga, TAXiDi 18.
Menurut perupa Wayan Sujana Suklu, sahabat lama Kenyem, “taxidi” adalah kata Yunani yang berarti perjalanan. Dalam catatan kuratorial yang menyertai pameran TAXiDi 18, Suklu menuturkan kesannya tentang perjalanan berkesenian Kenyem sejak mereka kuliah di STSI Denpasar (sekarang ISI Denpasar) pada 1990-an. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan “18” dalam judul TAXiDi 18.
Meski mengusung makna “perjalanan berkesenian”, pameran TAXiDi 18 jelas bukan dimaksudkan untuk menyoroti evolusi kreatif Kenyem di dunia seni rupa. Pameran ini menampilkan karya-karya bertahun 2019 saja, sehingga tentunya tidak mencerminkan perjalanan berkesenian Kenyem yang terentang lebih dari seperempat abad.
Yang cukup menarik, semua lukisan dalam pameran Kenyem kali ini berukuran relatif kecil, sekitar 30 x 30 cm. Lukisan kecil-kecil itu seperti “memaksa” pengunjung untuk mendekat. Pengunjung seakan diundang untuk membangun hubungan akrab dengan lukisan, sebagaimana figur-figur manusia dalam lukisan menjalin koneksi intim dengan alam.
Patut dicatat pula, hampir semua lukisan Kenyem tampak lebih ekspresif daripada biasanya. Teksturnya lebih kasar. Sapuan dan goresan pada kanvasnya lebih spontan. Kenyem lebih mengedepankan pengungkapan emosi.
Masih mengusung motif yang sudah lama dijelajahi Kenyem, pameran TAXiDi 18 menunjukkan bertahannya pandangan romantis sang perupa terhadap alam. Di satu sisi, Kenyem dapat dikatakan konsisten. Namun di sisi lain, mungkin ia terlalu kerasan berada di zona nyaman. NAWABALI
Fabulous