Citra Sasmita: Menyela Dominasi Laki-Laki di Ranah Seni

 

Potret seni rupa di Bali “miskin” tokoh perempuan. Sedikit sekali perempuan Bali yang mampu hadir secara berarti di dunia seni rupa Indonesia. Sepeninggal mendiang I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966-2006), Bali hampir tidak memiliki perupa perempuan yang karyanya diperhitungkan di medan seni rupa nasional.

Citra Sasmita hadir mengisi kelangkaan itu. Perupa Bali yang lahir di Tabanan pada 1990 ini berhasil merebut perhatian publik seni rupa kontemporer dengan karya-karyanya yang feminis, kritis dan berani.

Citra belajar seni rupa secara autodidak. Karya-karyanya telah ditampilkan dalam berbagai pameran sejak 2012. Ia menyabet penghargaan bergengsi Gold Award Winner dalam kompetisi seni lukis UOB Painting of the Year 2017 kategori seniman profesional.

Karya seni instalasi Citra di Biennale Jogja tahun lalu mendulang apresiasi bagus dari dalam dan luar negeri. Sejak 10 Januari hingga 29 Februari 2020, ia menggelar pameran tunggal bertajuk “Ode to the Sun” di Singapura.

Dalam wawancara dengan Nawabali, Citra mengungkapkan pemikirannya tentang perempuan dan seni rupa.

Age of Fire (2019)

Gagasan apa yang Anda tawarkan dalam karya seni rupa Anda?

Saya banyak menawarkan wacana mengenai isu-isu perempuan, seperti posisi perempuan dalam budaya patriarkis, tubuh dan seksualitas, serta menggali kembali sejarah perempuan sebagai sesuatu yang belum diperbincangkan secara luas dan terbuka. Wacana mengenai perempuan sering diperdebatkan dengan subjektivitas dan wawasan yang mengerucut ataupun parsial, sehingga menjadi tantangan yang cukup berat untuk mengajak lebih banyak perupa perempuan melakukan gerakan.

Mengapa tertarik mengangkat isu perempuan?

Tantangan sosial bagi perempuan saat ini semakin banyak, seperti persoalan kemanusiaan, politik identitas, hukum, juga ekonomi. Semestinya itu disadari bersama, sehingga setiap individu bisa bergerak menghadapinya secara serentak. Seni rupa, bagi saya pribadi, adalah piranti untuk memperluas kesadaran itu.

Menurut Anda, bagaimana perkembangan seni rupa perempuan di Bali?

Perkembangan seni rupa perempuan di Bali masih dalam proses. Setelah kelompok Seniwati yang berjaya pada tahun 90-an dan kemudian resmi dibubarkan pada 2013, gerakan perupa perempuan di Bali mengalami kekosongan.

Karena itu, saya, Ruth Onduko (manajer seni), Putu Sridiniari (desainer grafis) dan Savitri Sastrawan (kurator dan penulis seni rupa) berinisiatif membangun perkumpulan bernama Futuwonder untuk menjawab dekadensi yang selama ini disematkan pada perupa perempuan Bali. Gerakan kami tidak sebatas berpameran dan mengangkat wacana perempuan. Kami juga aktif menulis ulasan seni dan biografi perupa perempuan sebagai gerakan arsip seni.

Baca Juga  Bale Kulkul, Ikon Baru Banjar Beraban Denpasar

Kami memberikan perhatian besar pada kiprah perupa perempuan karena sejarawan, penulis dan kritikus seni sedikit sekali yang mengulasnya. Kemudian kami membuat video dokumenter tentang perupa perempuan senior sebagai jembatan untuk perupa perempuan junior.

Apakah komunitas atau kelompok perempuan bisa mengangkat perupa perempuan?

Bisa, jika didukung fondasi yang kuat dari awal terbentuknya. Komunitas seni sebagai moda transportasi wacana perempuan harus berlandaskan visi-misi yang kuat. Karena, memamerkan karya seni saja tidak cukup.

Membuat gerakan yang berkelanjutan dan memberikan dampak – misalnya, memperbaiki ekosistem seni yang kurang sehat dan minim kuota perempuan, terutama regenerasi – juga harus menjadi perhatian utama komunitas. Tidak hanya hadir dengan eksistensi dan partisipasi para perupa perempuan itu sendiri, tetapi juga mendorong pewacanaan terhadap berbagai persoalan sosial yang melingkupinya. Dengan bergerak bersama, suara perempuan menjadi semakin jelas terdengar.

Apa yang harus dilakukan perupa perempuan agar lebih diperhatikan publik di Indonesia?

Solidaritas antara sesama perempuan penting untuk dikembangkan. Misalnya, melahirkan gerakan sosial. Dari sanalah para perupa perempuan dapat menemukan fungsi karya seninya dalam berbagai masalah sosial yang dihadapi, termasuk relevansi dari apa yang mereka kerjakan selama ini. Dengan demikian, gagasan mereka akan menjadi bagian penting dari perhatian publik yang lebih luas.

Gerakan perempuan di Indonesia secara umum sudah mulai memberikan sinyal positif. Pendidikan mengenai kesetaraan gender, dan dukungan kepada perempuan untuk aktif bernalar dan bersuara, tampak cukup signifikan. Itu membuat masyarakat melihat adanya urgensi tentang ketimpangan gender. Gerakan perempuan telah berjalan dinamis, meski melahirkan antitesis, seperti kampanye “Indonesia Tanpa Feminis” dan semacamnya. Ruang dialog dan negosiasi mestinya lebih sering dilakukan.

Limbo of the Mother (2019)

Bagaimana pandangan Anda tentang gagasan seni rupa yang dimunculkan perempuan?

Gagasan seni rupa perempuan selama ini hanya tertidur dan cenderung diabaikan dalam skema seni rupa arus utama yang maskulin. Bahkan sejarawan bisa luput mencatat perempuan pionir dalam seni rupa dan tidak membahasnya dengan wacana progresif, seperti Kartini, Emiria Soenassa, Kartika Affandi, dan Hildawati Soemantri, keramikus pertama di Indonesia. Namun, sekali gagasan seni rupa perempuan bisa bangkit, pemikiran dalam karya mereka akan menjadi wacana yang sangat penting dan revolusioner.

Baca Juga  “Wind Forest : Rimba Angin”, Pameran Layang-Layang Kontemporer oleh Yoh Yasuda dan Kadek Armika

Ada kesan, dunia seni rupa perempuan itu sepi dan miskin gagasan. Pendapat Anda?

Miskinnya gagasan dan suara perempuan dalam dunia seni rupa banyak dipengaruhi oleh sedikitnya kesempatan perempuan memperoleh ruang apresiasi. Keberanian perempuan untuk menciptakan ruang kesempatan dan mengangkat permasalahan urgen dalam dunia seni pun menghadapi tantangan, kritik yang tidak objektif, iklim kesenian yang stagnan, orientasi pasar yang cukup tinggi dibanding kebutuhan mengangkat wacana atau pemikiran yang progresif, serta ekosistem kesenian yang belum kondusif.

Bagaimana agar gagasan dan suara perempuan lebih terdengar di dunia seni rupa Indonesia?

Tentunya dibutuhkan konsistensi untuk berani mengangkat pemikiran dan ideologi dalam karya seni; melihat persoalan perempuan dalam budaya patriarkis berdasarkan perspektif perempuan itu sendiri. Misalnya, persoalan tabu dan moralitas yang cenderung menyerang perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, dan stigma yang melekat pada tubuh perempuan.

Persoalan eksistensi merupakan sebuah langkah kecil agar gagasan dan pemikiran kita lebih didengar. Bagi saya, ini bukan persoalan mudah. Perlu terus-menerus dipacu.

Kendala apa yang dihadapi perupa perempuan?

Adanya kritik yang subjektif dan pengabaian terhadap kapasitas intelektual perempuan. Bagi masyarakat atau seniman yang konservatif, pemikiran perempuan dianggap lemah dan cenderung dibantah ataupun diabaikan. Perempuan kerap sulit menyatakan pendapat dan pemikirannya dalam forum intelektual karena adanya dominasi laki-laki yang superior dan diistimewakan.

Kemudian ada glorifikasi semu terhadap peran perempuan dalam masyarakat yang justru kerap menjebak pada stereotipe perempuan yang lemah-lembut, keibuan dan penuh sopan-santun. Akibatnya, perupa perempuan yang hadir dengan pemikiran yang berbeda cenderung dianggap pembangkang. Situasi ini menutup dialog yang lebih mendalam serta konstruktif mengenai minimnya kuota perupa perempuan dan regenerasi perupa perempuan.

Baca Juga  Saras Dewi: Menjaga Bumi, Merawat Tradisi Masa Lalu Bali

Bagaimana dengan situasi perupa perempuan di Bali? Problem apa yang menghadang mereka?

Situasi sosial, budaya dan politik Bali yang makin kompleks saat ini membuat persoalan perempuan nyaris tidak pernah dibahas dalam karya seni. Di samping itu, ada pandangan yang menganggap bahwa seni mesti diletakkan dalam puncak estetika yang hanya mengangkat kemutakhiran teknis dan keindahan semata.

Padahal, seni rupa bisa menjadi medium penting untuk membawa pesan dari kaum terpinggir dan minoritas, salah satunya adalah perempuan. Perupa perempuan membutuhkan ideologi untuk diperjuangkan.

Kondisi masyarakat Bali yang patriarkis membuat suara dan pemikiran perempuan sulit didengar. Ketimpangan yang lebih kompleks dalam masyarakat privilege – golongan berpendidikan tinggi, berstatus sosial terpandang, mapan dll. – juga menciptakan relasi timpang antara sesama perempuan.

Perempuan yang mengalami subordinasi pada umumnya akan memilih diam dalam gempuran realitas yang dihadapi. Perempuan Bali menjadi pekerja kasar, menjadi kuli bangunan untuk menghidupi seluruh keluarganya, merupakan hal yang dianggap wajar. Di sisi lain, laki-laki telah menjadi puncak mata rantai dalam hierarki sosial.

Beban dan kerja berat perempuan Bali selalu ditutupi dengan glorifikasi dewi-dewi mitis yang dideskripsikan dengan kecantikan, kebajikan, keajaiban dan kekuatan tanpa batas. Citra tentang perempuan seperti itu membuat perempuan sulit mendeskripsikan ide-ide yang berbeda dengan citra yang telah dibangun secara sosial melalui budaya dan agama.

Citra Sasmita

Apa sesungguhnya perbedaan antara perupa perempuan dan perupa laki-laki?

Perupa perempuan sesungguhnya lebih banyak punya kelebihan daripada perupa laki-laki. Ia bisa membahas pengalaman tubuhnya secara kompleks sehingga menjadi wacana isu-isu yang lebih besar, seperti isu kemanusiaan, alam semesta, filsafat, analisis terhadap gejala sosial dll.

Perupa perempuan menerima kodratnya sebagai perempuan – mengalami menstruasi dan memilih untuk mempunyai anak. Kesakitan dalam menjalani kodrat tersebut pun dilaluinya, meski dianggap sesuatu yang kontraproduktif dalam ranah profesi atau industri kesenian.

Visual yang diangkat perempuan mempunyai potensi yang sangat besar untuk membaca situasi, realitas sosial dan spirit zaman. Asalkan, perupa perempuan tidak terjebak pada pandangan konservatif yang lebih menonjolkan kemampuan teknis, hasrat bermain dan penguasaan teori semata.


Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *