GEGURITAN SALAMPAH LAKU: Lautan Kata Seorang Wiku

Bagian Tiga

 

Melalui kata dan kalimat yang tersusun dalam bait puisinya, Ida Pedanda Made Sidemen (1858-1984) tampil sebagai sosok yang menguasai sastra dengan baik. Sastra tidak hanya digunakan sebagai alat pengungkap suatu ide atau gagasan. Akan tetapi, sastra digunakan sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan.

Pengarang ini tidak hanya menekuni sastra saja, akan tetapi melakoni segala yang termuat dalam sastra. Setiap pilihan kata yang terbangun dalam suatu kalimat menjadi kesatuan yang utuh dalam bait puisi, mengandung metafora yang sarat makna.

Diawali dari penggalan kalimat bait satu yang merupakan perumpamaan seorang pengarang, yakni “kadi pangucaping paksi“, yang artinya bagaikan ucapan seekor burung. Pengarang senantiasa membandingkan dirinya dengan burung, “paksi“, yakni binatang yang memiliki kebebasan dengan terbang menuju tempat yang diinginkan.

Dalam kehidupan burung, burung dapat menapaki tanah (pertiwi), serta dapat terbang menjelajahi ambara (akasa). Metafora ini dipilih pada bait pertama dalam mengawali Geguritan Salampah Laku.

Keindahan seorang perempuan (istri beliau) juga tak luput dalam tulisan. Kecantikan sang istri diumpamakan dengan “mangasorang madu satak“, yang artinya mengalahkan (manisnya) dua ratus madu.

Selanjutnya, istri Ida Pedanda Made Sidemen dengan setia menemani perjalanan sang wiku. Akan tetapi, ia awalnya masih diliputi haru, karena harus meninggalkan rumah. Hal ini termuat dalam perumpamaan yang digunakan pengarang, yakni “magaleng yeh mata” yang artinya beralaskan air mata.

Dalam perjalanan dari selatan menuju timur, banyak hal yang beliau hadapi. Dikisahkan bahwa semua desa disusuri, dan banyak hutan maupun bukit dilalui. Kisah ini sesuai dengan perumpamaan pengarang dalam kalimat “tuun tanah menek langit“, yang artinya turun menapaki pertiwi dan naik lagi bagai menggapai langit.

Baca Juga  INDONESIA RAJA, Program Pertukaran Film Pendek Minikino Dirampingkan

Begitu panjang dan menantangnya perjalanan dan pendakian ilmu beliau. Sampai-sampai harus diibaratkan dengan dikotomi antara atas dan bawah, tanah dan langit.

Pada kisah selanjutnya, yakni dalam perjalanan bersama istrinya yang setia, Ida Pedanda Made Sidemen mengungkapkan perumpamaan yang cukup tegas dan lantang tentang kondisi dan jalan hidup yang dipilihnya. Beliau berkata kepada istrinya:

 

Idup beline mangkin

makinkin myasa lacur

tong ngelah karang sawah

karang awake tandurin

guna dusun ne kanggo ring desa-desa

 

Ida Pedanda Made Sidemen menyampaikan bahwa keadaan hidupnya saat ini “myasa lacur“, yang berarti terbiasa hidup miskin. Miskin yang dimaksudkan adalah hidup dengan jalan kesederhanaan. Dalam perburuan ilmu, Ida Pedanda Made Sidemen rela meninggalkan rumah sejenak untuk tujuannya.

Tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin” artinya tidak memiliki tanah sawah untuk ditanami, maka tanami diri sendiri. Tanami diri sendiri bermakna tanami diri atau isi diri dengan pengetahuan, agar pengetahuan itu dapat berkembang dan bermanfaat untuk orang banyak, layaknya tanaman atau pohon yang memberikan manusia banyak manfaat dalam kehidupan. Hal ini selaras dengan perumpamaan yang selanjutnya, yakni “guna dusun ne kanggo ring desa-desa“, yang artinya pengetahuan yang bermanfaat yang digunakan di masyarakat.

Baca Juga  Makna Hari Siwaratri Dalam Cerita Lubdhaka

Inilah hakikat pengetahuan yang ingin disampaikan Ida Pedanda Made Sidemen, yakni pengetahuan yang sejati itulah yang bermanfaat untuk masyarakat. Melalui pengetahuan, orang dapat memberikan tuntunan atau pencerahan ke arah yang lebih baik.

Pada penggalan bait tersebut, untaian-untaian kata tidak hanya menjadi sebuah perumpamaan yang berfungsi sebagai penghias karya sastra untuk membangkitkan nilai estetis. Penggalan bait tersebut memuat pesan luar biasa yang harus direnungkan.

Pengetahuan seseorang tercermin melalui ungkapan-ungkapan yang diujarkan melalui pemilihan kata untuk mewakili pemikiran. Beragam sastra menjadi penuntun seseorang dalam upaya memahami hakikat kehidupan. Demikian halnya Ida Pedanda Made Sidemen.

Cerita Tantri juga tak luput dari ingatan beliau saat memilih dan menggunakan kata dalam proses kepengarangannya. Nilai-nilai cerita itulah yang tidak luput olehnya. Hal ini didukung oleh penggalan kalimat yang berupa perumpamaan, yakni “kedis sangsyahe tuladang” yang artinya tirulah burung sangsyah.

Dalam kisah Tantri Pisacarana, kedis sangsyah adalah burung yang cerdas. Sebelum bertelur, mengeram hingga membesarkan anak-anaknya, burung sangsyah dengan tekun membangun sarangnya. Tidak bergantung dan menunggu bantuan pihak lain. Semua diusahakan sendiri semasih mampu menjalankan.

Selain itu, burung sangsyah juga mengajarkan tentang kesiapan diri dalam menghadapi sesuatu, termasuk berpengetahuan. Dengan berpengetahuan, tantangan yang dihadapi akan terasa lebih ringan, karena selalu memiliki solusi dan jalan keluar dari segala masalah dan rintangan yang dihadapi.

Perjalanan Ida Pedanda Made Sidemen menuju Mandaragiri tidaklah mudah. Selain menempuh perjalanan yang panjang dan menantang, Ida Pedanda Made Sidemen dan istrinya juga berhadapan dengan waktu, “kala“.

Baca Juga  Penamaan Negara Asing: Cara Sendiri Atau Membebek Inggris?

Saat siang, beliau dengan semangat melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, saat senja hari, beliau harus beristirahat untuk mengumpulkan kembali tenaganya. Seperti yang termuat dalam perumpamaan “Hyang Ulan tumunggang gunung” dan “suryyane tumunggang adri“.

Hyang Ulan tumunggang gunung” berarti bulan menunggangi gunung. Maksudnya, malam sudah tiba dan bulan sudah utuh terlihat, tidak lagi berada atau bersembunyi di balik gunung. “Suryyane tumunggang adri” berarti matahari menunggangi gunung. Yang dimaksudkan adalah waktu siang hari. Dengan demikian, perjalanan Ida Pedanda Made Sidemen menuju Mandaragiri berlangsung siang-malam.

Sebuah pesan tentang diri beliau kepada orang lain, dalam hal ini putrinya, diselipkan dalam teks Geguritan Selampah Laku.

 

kewala pejah tinunu pitra yadnya ne kawuwus

Terjemahan :

apabila kematian telah tiba pitra yadnya laksanakan

 

Pada saat mengarang Geguritan Selampah Laku, Ida Pedanda Made Sidemen telah berusia 80 tahun. Dalam usia itu, beliau tengah mempersiapkan diri dalam menghadapi kepulangannya ke pertiwi. Inilah yang menjadi salah satu pegangan dalam menjalankan yadnya, khususnya pitra yadnya.

Seorang pedanda yang meninggal biasanya prosesi upacara kematiannya dinamakan palebon. Akan tetapi, keinginan Ida Pedanda Made Sidemen dalam Geguritan Selampah Laku mengajarkan tentang kesederhanaan sampai akhir hayatnya.

 

LUH YESI CANDRIKA, pemerhati sastra Bali

 

 


Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *