MUSIM kemarau belum menunjukkan tanda-tanda usai. Hujan enggan menyapa bumi. Udara gerah. Tanah kerontang mendamba basah.
Namun wajah dunia seni rupa di Bali berseri-seri. Musim semi telah tiba. Bunga-bunga artistik bermekaran. Tunas-tunas keindahan bermunculan. Perayaan demi perayaan digelar. Netra dan rasa para pecinta seni rupa dimanjakan.
Bulan Oktober 2019 patut dicatat di tempat istimewa dalam lembaran sejarah perjalanan seni rupa di Bali. Di tengah “kemarau” panjang yang melanda pasar seni rupa di Indonesia selama beberapa tahun terakhir, Bali justru merayakan musim semi seni rupa. Dua acara seni rupa berskala besar diselenggarakan di Bali secara bersamaan: Art Bali dan Bali Megarupa.
Art Bali adalah pameran seni rupa kontemporer tahunan yang diadakan oleh Heri Pemad Manajemen di AB•BC Building, Bali Collection, Kawasan ITDC, Nusa Dua, Bali. Pertama kali digelar pada 2018, Art Bali tahun ini mengangkat tema “Speculative Memories” (Ingatan-Ingatan Spekulatif). Sebanyak 32 perupa Indonesia dan mancanegara menampilkan 49 karya seni rupa yang meliputi lukisan, patung, instalasi, objek, video, multimedia dan lain-lain. Rifky Effendy dan Ignatia Nilu bertindak selaku kurator dalam pameran akbar yang dibuka pada 12 Oktober lalu.
Pada 22 Oktober, hanya berselang sepuluh hari setelah Art Bali 2019 diluncurkan, pameran lain yang tak kalah akbar datang menggebrak: Bali Megarupa. Dari segi jumlah karya atau perupa peserta dan tempat pameran, Bali Megarupa memang sesuai dengan namanya yang menyarankan sesuatu yang besar. Pameran yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali ini menghadirkan berbagai kreasi seni rupa karya 103 seniman Indonesia. Lokasi pameran tersebar di empat lembaga kebudayaan terkemuka di Bali: Museum Puri Lukisan, Museum Seni Neka, Museum ARMA dan Bentara Budaya Bali. Bertema “Tanah, Air, dan Ibu”, Bali Megarupa dikuratori oleh Warih Wisatsana, Wayan Sujana Suklu, Wayan Jengki Sunarta dan Made Susanta Dwitanaya.
Sebagaimana Art Bali, Bali Megarupa direncanakan hadir setiap tahun. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Bali, Dr. Wayan Adnyana, Bali Megarupa menjawab “harapan para seniman yang telah lama memimpikan Bali memiliki kegiatan pameran seni rupa dalam skala besar”. Pernyataan Kadisbud baru yang kebetulan seorang perupa itu ada benarnya. Meski tersohor sebagai pusat seni rupa di Indonesia, Bali selama ini memang tidak memiliki agenda seni rupa rutin berskala besar. Acara pameran besar Bali Biennale pada 2005 gagal dijadikan agenda rutin. Dalam hal ini, Bali “kalah” dengan pusat-pusat seni rupa lain seperti Yogyakarta atau Jakarta.
Kehadiran Art Bali sejak tahun lalu seperti mengisi “kekosongan” agenda pameran besar rutin di Bali. Namun kapasitas Art Bali dalam merangkul potensi seni rupa di Bali tentu sangat terbatas. Bali Megarupa datang menawarkan panggung yang lebih lapang.
Tahun ini, dan semoga juga tahun-tahun mendatang, Art Bali dan Bali Megarupa berjalan paralel menyemarakkan iklim seni rupa di Bali. Beberapa perupa memamerkan karya di kedua acara pameran itu, misalnya Wayan Sujana Suklu, Ida Bagus Putu Purwa dan Wayan Sudarna Putra. Tetapi bukan berarti Art Bali tidak ada bedanya dengan Bali Megarupa.
Perbedaan visi antara Art Bali dan Bali Megarupa sudah terasa dalam acara pembukaan masing-masing.
Aroma “tradisi Bali” menyengat tajam dalam pertunjukan Ritus Seni Tarirupabunyi “Kidung Megarupa” oleh Nyoman Erawan dkk. yang mengisi acara peresmian Bali Megarupa. Secara konseptual, visual maupun aural, “Kidung Megarupa” sangat kuat berpijak pada idiom budaya tradisional Bali, khususnya kultur religius yang memuliakan air sebagai elemen yang menyucikan.
Sebaliknya, peresmian Art Bali didominasi spirit kekinian dan kosmopolitan yang melampaui tradisi. Menggandeng Fashion Council Western Australia, malam pembukaan Art Bali dihiasi dengan peragaan busana glamor. Sebarisan peragawati bule berlenggak-lenggok terbungkus busana keluaran label ternama dari Indonesia dan Australia. Ditampilkan pula pergelaran artistik tentang pengaruh foto selfi dan media sosial terhadap budaya modern.
Bali Megarupa menyajikan karya para perupa Indonesia, terutama mereka yang tinggal atau bekerja di Bali. Pameran ini memang diikhtiarkan sebagai “sebuah pembacaan awal dinamika seni rupa Bali dari tradisi hingga kontemporer”. Mayoritas karya yang ditampilkan berupa lukisan. Dari empat lokasi pameran, karya non-lukis atau karya dengan media non-konvensional hanya terlihat cukup menonjol di Bentara Budaya Bali. Secara keseluruhan, pameran Bali Megarupa yang berlangsung di institusi-institusi besar yang sangat mapan itu terkesan “konvensional”.
Art Bali, di sisi lain, menyuguhkan ciptaan para perupa Indonesia maupun mancanegara – meskipun yang dimaksud dengan “mancanegara” di sini adalah perupa asing yang tinggal di Indonesia, atau perupa Indonesia yang tinggal di luar negeri. Lukisan ada, tapi tidak dominan. Karya non-konvensional menguasai ruang pameran yang tertata dinamis di dalam bangunan yang bentuk maupun materialnya tidak lumrah. Suasana keseluruhan pameran terasa “progresif”.
Bali Megarupa adalah pameran “plat merah”, dari pemerintah, gratis, bersifat non-profit. Art Bali adalah pameran “plat kuning”, dari swasta, berbayar, bersisi profit. Perbedaan antara Art Bali dan Bali Megarupa merupakan suatu keniscayaan yang harus disyukuri karena memperkaya panorama seni rupa di Bali. Art Bali dan Bali Megarupa memang harus berbeda dan bersaing secara sehat dalam kualitas. Hanya dengan begitu, Bali akan memetik manfaat sebesar-besarnya.
Pameran Bali Megarupa berakhir pada 10 November. Pameran Art Bali berlangsung hingga 13 Januari 2020. NAWABALI
Leave a Reply