Penyandang disabilitas bukan tak bisa berbuat sesuatu yang bermakna untuk diri sendiri maupun masyarakat. Mereka bukan kaum lemah yang hanya pantas dikasihani.
Orang difabel memiliki pikiran dan perasaan. Mereka mampu bekerja dan berkarya. Seperti semua orang lain yang dianugerahi fisik dan mental sempurna, mereka punya kemampuan untuk berdaya.
Setidaknya, itulah pesan yang bisa ditangkap dengan jelas dari pameran seni rupa “Now Is A Good Time”. Berlangsung di Uma Seminyak, Seminyak, Bali, pada 11 Januari – 2 Februari, pameran ini menghadirkan karya seni rupa dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina.
Berbeda dengan pameran seni rupa pada umumnya, “Now Is A Good Time” menampilkan sederet karya seni hasil proyek kolaborasi perupa profesional dan penyandang disabilitas. Selama empat bulan, tiga perupa dan satu kelompok seni dari empat negara bekerja sama dengan mitra difabel masing-masing untuk menciptakan karya seni.
Proyek kolaborasi mereka membuahkan karya-karya yang mengungkapkan hubungan personal dengan masalah disabilitas fisik maupun mental. Karya seni mereka seakan percakapan intim antara seniman dan penyandang disabilitas. Sebuah percakapan sunyi yang menyentuh tentang diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
Perupa Singapura, Mary Bernadette Lee, berkolaborasi dengan Tamimi Pohan, remaja putra berusia 14 tahun yang mengidap kelainan tulang. Mereka menciptakan karya instalasi media-campur berjudul “Rumahku Sayang”.
Karya mereka terdiri dari gambar, rumah-rumahan, mobil-mobilan, stoples berisi emping di atas meja dll. Mary dan Tamimi menjelajahi ruang-ruang puitis dan imajinatif yang berpusat pada citra tentang rumah sebagai simbol kehangatan hubungan, kebahagiaan dan rasa aman.
Perupa Sliz dari Malaysia berkolaborasi dengan Kelvin Cheah, bocah laki-laki berumur 8 tahun yang menyandang kelainan tangan dan kaki. Hasilnya adalah karya bertajuk “Sarana Seniminda”. Karya ini memiliki komponen utama berupa patung ayunan dan patung perosotan, dilengkapi model dan skema dari patung-patung itu serta arsip sketsa.
“Sarana Seniminda” merupakan respons kreatif Sliz terhadap interaksinya dengan Kelvin dalam memandang hubungan antara desain dan disabilitas. Dalam kenyataan, anak dengan disabilitas fisik seperti Kelvin akan “tereliminasi” oleh konstruksi ayunan dan perosotan yang tidak memungkinkan mereka bermain. Pengalaman tereliminasi itu terasa dimunculkan di ruang pameran melalui ayunan dan perosotan dari logam dan kaca yang tampak berkilauan, tapi tidak fungsional.
Dari Indonesia, seniman Budi Agung Kuswara (Kabul) berkolaborasi dengan Loster, kawan SMA-nya yang mengidap gangguan jiwa. Mereka menampilkan lukisan berjudul “Survival Instinct”.
Melalui karya mereka, Kabul dan Loster berbicara tentang perubahan dramatis yang terjadi pada pulau kelahiran mereka, Bali. “Survival Instinct” merekam pengamatan dan pengalaman personal mereka tentang lanskap Bali yang bernapas di antara tradisi dan modernitas, spiritualisme dan materialisme, kekinian dan kekunoan.
Kelompok seni dari Filipina, koloWn, menghadirkan karya seni interaktif berjudul “Bituon Project”. Karya ini tercipta dari kolaborasi koloWn dengan sejumlah murid tuna rungu dan guru mereka dalam kelas khusus SPED di San Remigio Central Elementary School, Cebu.
“Bituon Project” berupa instalasi media digital yang reaktif terhadap bunyi. Rangsang bunyi dari pengunjung akan memunculkan gambar abstrak berpola tertentu yang diproyeksikan pada dinding. Karya ini diniatkan sebagai prototipe teknologi yang dapat dikembangkan untuk membantu kaum tuna rungu.
Dikuratori Tulika Ahuja dari Singapura, pameran “Now Is A Good Time” mengajak khalayak untuk merenungkan kembali fungsi seni dan peran seniman dalam masyarakat. Seni tidak lagi dipahami sebatas objek keindahan. Seniman bukan lagi kreator semata, namun juga fasilitator, motivator, peneliti, penyembuh dsb. NAWABALI
Leave a Reply