Sajian Sarapan Instastory Supaya Tetap Sehat

Pameran Seni Rupa "Sarapan Instastory" Rharharha

APA sarapan hari ini? Secangkir kopi, segelas teh manis, roti bakar, singkong rebus, laklak, nasi kuning, omelette, atau nasi goreng buatan ibu? Yakin itu sarapan pagi kalian?

Scroll-Scroll-Scroll

Selembar monumen kemanusiaan dipajang menutupi dinding kaca. Isinya? Ahh, jangan diperhatikan dahulu. Hari sudah terlalu gerah untuk menikmati perihal kemanusiaan. Kemarau yang panjang, orang baik yang bebal, pemerintah dengan muka yang tak kalah tebal, ditambah kemacetan untuk bisa sampai ke Seminyak, sudah cukup menguras energi dan emosi. Jangan lagi ada perkara kemanusiaan yang selayaknya memang perlu ditinggalkan untuk menciptakan manusia-manusia yang taat, tertib dan patuh. Menciptakan mesin murah-meriah tanpa biaya pemeliharaan.

Masuk saja ke dalam ruangan. Sebuah kelambu di tengah ruangan dengan lampu berwarna merah. Warna yang menjadi begitu sering terngiang di kepala, bukan karena ada pada bendera yang berkibar, tapi karena muncul dalam dialog film yang dibuat oleh rezim orba (singkatan dari “orde baru”, bukan “orang baik”) untuk merekonstruksi sejarah dan sekaligus media propaganda yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. “Darah itu merah, Jenderal”, itulah kalimat yang selalu saja muncul setiap kali melihat warna merah. Padahal jauh lebih mengerikan darah biru daripada darah merah.

Scroll lebih jauh. Lilin ditata berjajar sepanjang kalimat REVOLUSI KEMANUSIAAN. Di dinding, kanvas besar dipajang. Beragam kutipan terbordir pada kanvas. Scroll perlahan, perhatikan setiap kalimat yang dibordir dengan benang dua warna, hitam dan merah. “PULANG KERJA ONLINE 24 JAM, PULANG KERJA LALU ONLINE KERJA LAGI”, “TERTIDUR DENGAN STATUS TYPING”, “NGOBROL DI KOLOM KOMENTAR ORANG”. Sebagian besar orang hari ini (terutama yang sudah bersentuhan dengan kemajuan teknologi informasi) mengalami apa yang kalimat-kalimat tersebut sampaikan.

“HOBI MAIN HP SAMPAI PAGI, IBU 21 TAHUN MENINGGAL DI ATAS KASUR. JASADNYA MASIH DALAM POSISI MENGGENGGAM HP” – BERITA INSTAGRAM. “TIDUR MEMELUK HP PAYUDARA WANITA TERBAKAR” – BERITA PAGI. “ANAKNYA IBU WARUNG SEBELAH RUMAH MENANGIS, MENGAMUK KARENA HP IBUNYA HABIS KUOTA INTERNETNYA” – KUTA, BALI 2019. Berita dan berita dikabarkan kembali, tidak melalui fitur repost atau diceritakan ulang. Kalimat-kalimat itu dihadirkan di dinding nyata yang tak hanya bisa dibaca dengan mata, tapi bisa disentuh.

Mari scroll lagi untuk melihat sajian lain yang disuguhkan dalam ruangan. AKSI KAMISAN dikabarkan, REFORMASI DIKORUPSI disampaikan, KPK DIBUNUH ORANG BAIK diceritakan.

Cerita-cerita itu adalah sebagian kecil dari karya-karya yang dihadirkan oleh Rharharha dalam pameran seni rupa bertajuk “Sarapan Instastory. Pameran yang berlangsung pada 30 September – 13 Oktober 2019 ini diselenggarakan di Uma Seminyak, Seminyak, Badung, Bali.

Rharharha menyajikan kebiasaan baru yang lahir dari kemajuan dunia teknologi dengan hamburan informasi yang saling menindih ke dalam ruang pameran. Kebiasaan baru itu dihadirkan melalui kutipan-kutipan yang dibuat dengan menggunakan teknik bordir manual. Ia biarkan benang bebas memperkaya tampilan barisan kata-kata yang dihadirkan.

Instastory merupakan fitur yang memuat update informasi terkini dari sosok-sosok pengguna media sosial Instagram. Informasi yang kemudian dikonsumsi oleh sahabat, kerabat, hingga orang dari antah-berantah yang bahkan tidak pernah terlihat batang hidungnya. Kutipan-kutipan yang dihadirkan dalam pameran membawa imajinasi tentang bagaimana peristiwa yang diwakilkan dalam kutipan itu hadir dalam bentuk aslinya di media sosial. Bagaimana informasi seperti ibu muda meninggal dengan menggenggam gawai hadir sebagai menu konsumsi publik.

Baca Juga  Bertemakan Niti Windu, Budiono Kampret Menyelenggarakan Pameran Lukisan dan Pertunjukan Wayang di TAT Art Space

“Jika dulu lagu anak-anak bunyinya ‘Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi‘. Nah, kalau sekarang, ‘Bangun tidur ku terus ambil handphone, tidak lupa menggosok layar handphone‘,” ujar Rharharha sambil menyanyikan lagu anak-anak itu untuk menggambarkan bagaimana perilaku kebiasaan dulu.

Karya-karya Rharharha dalam pameran ini tidak hanya menghadirkan penggalan berita yang mungkin saja nyeleneh atau unik, namun juga menyajikan kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk akibat kemajuan teknologi informasi. Kebiasaan ketika seorang pekerja harus bisa bekerja selama hampir 24 jam dengan sadar, bahkan tanpa uang lembur. Atau juga ketika seseorang mendefinisikan dirinya bekerja secara freelance, dan tanpa disadari bahkan membawa pekerjaan mereka ke tempat tidur. Teknologi yang selama ini digadang-gadang mempermudah manusia, tanpa disadari menguras waktu lebih banyak hingga membuat seseorang tidak lagi ada batas waktu tegas antara waktu bekerja dan waktu pribadi untuk beristirahat. Pekerjaan tidak lagi berada di ruang-ruang formal, tetapi secara sadar dan dengan perasaan sukarela dibawa masuk ke ranah pribadi, kamar-ranjang.

Bisa dibayangkan, berapa informasi 15 detik yang harus ditelan Rharharha untuk mewujudkan sajian menu “sarapan instastory“. Kabar tentang payudara terbakar hingga REFORMASI DIKORUPSI, dari KPK DIBUNUH ORANG BAIK sampai gerakan BALI TIDAK DIAM. Bahkan secara tegas, sebuah kalimat disulam: “SENIMAN GERILYA MELAWAN”.

Situasi sosial yang memanas pada akhir September tidak mungkin luput dari “menu sarapan” Rharharha. Dia hadir sebagai masyarakat sipil untuk menyuarakan perlawanan atas kebijakan yang jelas-jelas semakin mencekik masyarakat. Pelemahan KPK, RUU KUHP dan RUU lain yang kontroversial dikebut untuk disahkan DPR pada sisa masa jabatannya. RUU yang tentu saja akan mengikat seluruh warga negara ketika berhasil disahkan. Sialnya, RUU tersebut lebih berpihak pada penguasa daripada warga kecil.

Bersinggungan dengan dunia aktivisme ketika tinggal di ibu kota tentu membuat Rharharha juga mengikuti situasi sosial yang terjadi, serta bagaimana gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang bergerak melawan kebijakan pemerintah yang dianggap sewenang-wenang. Update informasi terkini dari garis depan yang bisa didapat dari sajian instastory akun-akun yang di-follow-nya. Hal ini juga menunjukkan bagaimana variasi akun yang diikuti menentukan variasi informasi yang dikonsumsi dan kemudian berubah menjadi referensi. Pertanyaannya kemudian, apakah referensi tersebut akan terwujud dalam sikap atau hanya menjadi omong kosong belaka. Dalam konteks Rharharha, dia membuktikannya.

Ekspresi massa aksi yang hadir dalam aksi Bali Tidak Diam #2 pada Minggu 29 September 2019 di lapangan Renon ikut dipajang di ruang pameran. “Sahkan RUU PKS”, “Jangan Penjarakan Unggas Saya  #TOLAKRUUKUHP”, “PARU-PARU DUNIA KAU BAKAR!!! MANUSIA MASA DEPAN BERNAFAS DENGAN OKSIGEN KEMASAN”, “NGEBAKAR SELINTING DITANGKAP, NGEBAKAR SEHUTAN DILINDUNGI”. Beberapa teriakan emosional yang dihadirkan mendampingi ekspresi lain yang bersikap melawan arogansi dan kebebalan penguasa.

Rharharha juga kembali menunjukkan teknik tape art dalam bentuk kalimat seruan yang ditempel di lantai dan dinding ruangan Uma Seminyak. Tulisan “JANGAN DIAM”, “LAWAN”, bahkan “REVOLUSI”, dibuat dengan lakban berwarna merah. Sebuah teknik yang pernah digunakan hingga berhasil meraih rekor MURI dengan membuat karya lakban berukuran 570 m yang menghabiskan 3.400 lakban pada 2012.

Kalimat ”Seniman Gerilya Melawan” juga diwujudkan dengan performing art sebagai bentuk dukungan atas Aksi Kamisan, aksi yang digagas untuk mendesak pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang masih terkatung-katung digantung. Seperti namanya, Aksi Kamisan dilakukan pada Kamis, 3 Oktober. Aksi ini juga menjadi menu instastory karena ditayangkan secara langsung di akun sang seniman.

Baca Juga  "TERUPA FESTIVAL" Pertama di Bali dengan Puluhan Karya Seni NFT

Dengan pakaian hitam dan berbekal payung hitam, Rharharha berdiri di sebelah tiang listrik yang setia, di pertigaan Jalan Seminyak, menjadi saksi semrawutnya kabel yang ditopangnya dan rumitnya lalu lintas di hadapannya. Berdiri beberapa saat di antara lalu lalang wisatawan yang menghabiskan keringatnya sebelum kembali berkeringat, Rharharha melangkah menyeberangi jalan, melalui barisan restoran, taksi dan penjaja jasa wisata yang berdiri menunggu rezeki. Dia berjalan perlahan dengan mulut ditutup, di bawah payung hitam yang digenggamnya. Seorang kawan berdiri di depannya, dengan cekatan mengarahkan kamera ponsel membidik setiap detail menarik untuk disajikan secara langsung pada netizen yang sedang “mengintimi” layar gawai.

Rharharha meninggalkan keramaian jalan, melalui gang kecil dan menuju lokasi pameran. Seniman bernama 1secv berdiri menunggunya di hadapan dinding yang bertuliskan “Monumen Kemanusiaan”. Rharharha melangkah mendekat dan  berdiri memayungi 1secv yang asyik memainkan ukulele dalam tempo pelan. Kamera gawai mengikuti, memastikan setiap pemirsa tidak kehilangan satu momen pun.

Setelah berdiri diam dan membiarkan pemirsa (online maupun offline) menikmati diamnya dalam alunan ukulele, Rharharha dan 1s3cv masuk beriringan ke ruang pameran, berdiri di bawah kelambu merah. Performing art dilanjutkan di dalam galeri.

Bagi yang menyaksikan secara online, pertunjukan yang dilakukan sebagai bentuk solidaritas untuk Aksi Kamisan, yang pertama kali digelar pada tahun 2007, itu hanya menampilkan Rharharha dan iringan ukulele 1secv. Namun bagi yang menyaksikan offline atau hadir secara langsung, maka yang tampil pada hari itu ada tiga orang. Orang ketiga adalah sosok yang dengan gesit mengikuti dan menyiarkan lewat fitur instastory  dalam Instagram. Mereka menjadi satu kesatuan yang nyata, baik secara pola dan ritme gerakan.

Aksi yang dilakukan pada hari Kamis tersebut tentu semakin menunjukkan sikapnya ketika menyangkut persoalan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Meski hanya diikuti segelintir orang, tidak menyurutkan niat seorang Rharharha untuk tetap menyuarakan dukungannya pada gerakan perlawanan oleh warga yang selama ini tak mendapat perhatian. Aksi ini juga sekaligus menunjukkan  kecanggihan teknologi informasi, yang bisa dimanfaatkan sebagai media untuk menyuarakan solidaritas dan perlawanan, tidak hanya melulu hanya untuk memuat paras wajah atau makanan enak.

Senja dan Merawat Perlawanan

Kemacetan Kuta. Membayangkannya saja sudah begitu menguras energi, apalagi menjalani dan menuliskannya. Tetapi itu harus dilalui untuk tiba di Pantai German. Entah apa yang membuat pantai tersebut diberi nama “Pantai German”. Yang jelas, pantai tersebut menyajikan pemandangan matahari tenggelam yang menjadi salah satu alasan (jika tidak mau dibilang alasan utama) para pemburu sunset pergi ke Kuta.

Rharharha memilih lokasi penutupan pamerannya yang berlangsung selama dua minggu di pantai yang dekat dengan Bandara Ngurah Rai itu. Acara penutupan dilaksanakan pada Minggu, 13 Oktober.

Matahari perlahan turun. Beberapa pengisi acara terlihat sudah berkumpul di titik yang dipilih Rharharha untuk menyelenggarakan acara penutupan. Sebuah mikrofon terhubung pada speaker kecil dan laptop.

Rharharha melangkah keluar dari laut dengan sebuah payung hitam, menuju tanjung kecil buatan yang disusun dari bebatuan, tempat hadirin berkumpul. 1secv menunggu dengan memainkan komposisi bebunyiannya, sementara Putri menari mengikuti alunan bebunyian dan cahaya yang semakin memerah.

Di atas teluk, Rharharha berdiri memayungi sang penari. Beberapa orang yang hadir untuk menikmati senja mulai menoleh memperhatikan apa yang mereka lakukan.

Baca Juga  NOW IS A GOOD TIME: Seni Rupa Kolaborasi dengan Penyandang Disabilitas

Alunan prosais mengalir keluar dari mulut Rharharha: “Kusampaikan pesan-pesan yang tak tersampaikan kepada negara, kepada penguasa, kepada mereka yang lupa akan kemanusiaan. Ku mengadu saja kepada senja, ku mengadu saja kepada senja, ku mengadu saja kepada senja”. Ungkapan perasaan yang keluar ketika suara-suara perlawanan yang muncul hanya terbentur dinding bebal negara dan penguasa.

Mikrofon kemudian dipegang oleh Sanggarasi, dan disusul Bayu Tombak. Sementara senja mewujud, 1secv masih berkutat dengan beat dan ukulele, Putri dengan tarian, dan Rharharha dengan payung hitamnya.

Setelah matahari terbenam dan purnama muncul, Santi Permana tampil dengan sebuah buku kecil di tangan. Membawakan prosa berjudul “Kidung Sendu”, Santi berkolaborasi dengan Husni dalam aksi performance art meneteskan lelehan lilin ke wajahnya. Sebuah visualisasi dari perasaan di balik barisan kata-kata yang dilontarkan selepas senjakala.

Acara penutupan tersebut juga menandai terlahirnya sebuah ruang kolaborasi yang diberi nama “S.A.C (Sunset Art Club)”, sebuah gerakan yang mencoba memeluk senja dengan seni. Ruang ini “menantang kita sebagai seniman untuk mencoba hal-hal baru dengan berkolaborasi secara organic, spontanitas dan dengan waktu yang terbatas, yaitu saat menjelang dan sampai matahari tenggelam”, mengutip Rharharha dalam caption postingan di akun Instagramnya. Tentu kolaborasi yang dimaksud juga termasuk orang-orang yang menangkap peristiwa dan menyiarkan momen tersebut melalui fitur live di Instagram.

Pameran seni rupa “Sarapan Instastory yang dikuratori Dwi S. Wibowo digunakan secara efektif oleh Rharharha  untuk menyampaikan bagaimana perubahan perilaku keseharian kita. Pameran ini juga dimanfaatkannya sebagai media aksi untuk bersolidaritas dalam menyuarakan ketidakadilan kemanusiaan yang diabaikan negara. Aksi di acara penutupan menjadi sebuah cara simbolik yang kuat, menggambarkan bagaimana penguasa selalu saja ingkar dan tak peduli pada suara-suara yang telah berteriak lantang menuntut penyelesaian kasus HAM. Mengadu pada senja seolah menjadi jalan yang ditempuh ketika orang-orang yang duduk di istana negara terlalu nyaman dengan kursi kekuasaan dan lebih memilih bercinta dengan oligarki yang membiayai pencapaian mereka menduduki kekuasaan.

Serangkaian acara pameran “Sarapan Instastory menjadi pernyataan sikap tentang posisi Rharharha berdiri hari ini. Dia memilih tetap berada dalam barisan suara-suara perlawanan yang diabaikan penguasa. Pernyataan sikap yang menjadi penting pada saat semua orang terkena sindrom “orang baik”, seolah “orang baik” tidak bisa dikritisi dan diingatkan. Sebuah pernyataan sikap yang jelas, dengan cara sederhana.

Pameran “Sarapan Instastory mengingatkan bahwasanya ekspresi sikap tidak membutuhkan panggung besar dan gegap gempita, tidak juga perlu dilakukan untuk mencari panggung, tetapi dilakukan sebagai bentuk pekikan suara dari rasa geram yang tertimbun akibat melihat realita sosial yang kini berlangsung.

Di era 4.0, kita mungkin bukan lagi (hanya) apa yang kita makan, tetapi bisa jadi kita adalah instastory siapa yang kita konsumsi. Jadi, selamat menyeruput dan mengunyah setiap informasi yang disajikan dalam story orang-orang yang kita ikuti. Jangan lupa banyak minum air, biar tidak seret dan “ke belakang”-nya lancar, serta yang lebih penting, tidak keracunan instastory. Selamat kepada Rharharha untuk pemeran tunggalnya pada 2019. Selamat datang kembali. Terima kasih untuk sajian bergizi yang dibagikan melalui story-storymu…. Lope you and rrrispek….

 

L. TAJI, penulis dan fotografer

 


Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *