Mohon Doa Restu. Selintas mendengarnya, tentu pikiran akan meluncur ke kartu undangan hajatan. Entah kenapa pikiran langsung melayang ke undangan pernikahan. Tapi, jika dilihat lebih saksama, ternyata yang minta doa restu adalah tiga pemuda. Sesama jenis. Jadi, tidak mungkin mereka akan menikah.
Alasannya sederhana. Pertama, karena pernikahan biasanya hubungan dua orang, bukan tiga orang. Kedua, karena Indonesia masih belum melegalkan pernikahan sesama jenis. Dan sepertinya hal itu susah terjadi.
Jangankan pernikahan sesama jenis. Di Indonesia, ada yang bilang, berenang bareng (beda jenis) saja bisa bikin hamil. Padahal jika perempuan bisa hamil semudah itu, tentu tak perlu obat penyubur hingga bayi tabung. Yang clup-clup berkali-kali saja belum tentu jadi, ini malah bikin teori baru: berenang bisa bikin hamil.
Ahh… Indonesia memang rumit. Serumit logika orang yang bikin statement itu.
Ungkapan “mohon doa restu” juga tak ada hubungannya dengan bikin teh. Clup-clup-clup. “Mohon doa restu” ternyata ucapan rendah hati dari tiga pemuda atas kelahiran anak pertama mereka yang diberi nama Mohon Doa Restu.
Mungkin saja itu hanya asumsi saya. Jangan terlalu serius begitu. Santai, nak e. Kayak menikmati senja di Pantai Canggu. Oh, kok bisa ke Canggu? Bisa, dong. Kan dekat. Daripada ke Hawaii. Jauh….
Mari kembali ke ungkapan pemuda yang memohon doa restu atas kelahiran anak pertama mereka tadi. Anak pertama mereka diberi nama Mohon Doa Restu. Nama yang unik. Namun, karena saya bukan balian, saya tak akan membahas arti nama anak pertama hasil persetubuhan tiga pemuda tersebut.
Tiga pemuda yang berani-berani bersetubuh tersebut adalah Ucup, Rian dan Rama. Mereka kemudian menamai persetubuhan mereka dengan nama Coconightman.
Tenang, anak mereka lahir bukan karena mereka sering berenang bersama. Tetapi karena mereka sering main bareng. Ucup dengan gitar, ukulele dan vokal. Rian dengan gitar, ukulele dan vokal. Rama dengan perkusi.
Persetubuhan tiga pemuda dalam Coconightman terjadi sejak 2017. Pada Februari 2020, mereka melahirkan anak pertama: sebuah album yang memuat tujuh lagu dan diberi nama Mohon Doa Restu.
Ukulele membuka lagu pertama yang berjudul “Tikus-Tikus”. Sebuah lagu yang menggunakan kemalangan tikus untuk menggambarkan betapa malangnya manusia hari ini. Manusia telah berubah menjadi robot yang depresi, kehilangan nurani, sampai akhirnya bunuh diri. Nilai gotong royong dibenturkan dengan profesionalisme, sebuah paham yang begitu dekat dengan kerja dan uang, sehingga dianggap sudah tak lagi relevan untuk dilangsungkan hari ini.
“Tikus-Tikus” mungkin lagu yang paling menarik dalam penggunaan lirik. Diawali dari nasib tikus dan keluarganya yang malang. Kemudian ke manusia sebagai individu. Kemudian ke hal yang lebih besar, masyarakat sebagai sistem sosial dengan nilai-nilai yang telah berubah.
Inilah lagu yang menggambarkan tragedi dengan begitu riang. Ketika terjadi setiap hari, mungkin tragedi sudah tidak perlu dianggap sebagai tragedi. Seperti tikus yang mati di jalan. Seperti kita yang memilih menjadi robot di balik pembenaran tuntutan profesionalitas. Dan kemudian dengan sukarela menghilangkan kemaluannya, alih-alih tetap menikmati hidup sebagai manusia yang punya kuasa atas waktu dan rasa.
Setelah membuka albumnya dengan hubungan antara manusia, Coconightman menghadirkan “Linda”. Sebuah lagu tentang kerinduan kepada sosok perempuan bernama Linda. Siapa pun dia, sosok perempuan ini berhasil membuat tiga pemuda Coconightman termangu. Mereka menyadari bagaimana jejak yang sempat tergurat akan terhapus oleh hujan, menyisakan kepingan kerinduan yang coba diikat dengan harapan untuk bertemu kembali.
Minum secangkir kopi di teras sambil memandang hujan yang mulai rutin turun bisa menjadi cara paling asyik untuk menikmati “Linda”. Tentunya jika kita masih punya waktu untuk melakukan itu. Setidaknya itulah kesan yang muncul ketika mendengar Ucup menyanyikannya diiringi petikan ukulele.
“Aku Manusia” merupakan lagu ketiga. Sebuah lagu yang mengisahkan hidup Juwita, sosok transgender.
Waktu masih kecil, ibuku berkata, jadilah laki-laki lembut dan bijaksana.
Tak ada maksud menyalahkan atau menghakimi pola asuh. Namun tidak bisa dipungkiri, pola asuh, termasuk lingkungan, adalah ruang tempat pertumbuhan dan perkembangan individu berlangsung sejak masa kanak-kanak. Pola asuh juga mengambil peran yang tidak kecil ketika kita berbicara soal pilihan seseorang menjadi transgender.
Namun kita sering kali enggan menyelami hal itu. Mungkin karena rumit. Sementara itu, ada cara lebih mudah untuk memandang transgender: menertawakan dan menghakimi mereka. Itulah yang sering terjadi, dan bisa jadi kita salah seorang yang melakukannya.
Menjadi transgender sungguh berat. Apalagi di tengah masyarakat Indonesia dengan budaya patriarki yang gandrung akan iman, namun lupa dengan kasih. Lagu “Aku Manusia” seolah mengingatkan, perkara cinta bukan hanya milik laki-laki dan perempuan yang penampilan dan orientasinya “normal”. Cinta adalah hak semua orang, termasuk Juwita dan para transgender. Mereka sosok-sosok yang berani mengambil pilihan sesuai tuntunan hatinya.
“Melani” hadir sebagai lagu keempat. Ia hadir dengan sebuah permintaan pada sapaan pertama. Sebuah lagu dengan kesan personal yang begitu kuat. Petikan gitar akustik, perasaan terjepit yang disampaikan sang vokalis. Terhimpit di antara perasaan bersalah dan keliaran yang selama ini berhasil dikungkung dan tiba-tiba lepas, terstimulasi oleh sebuah situasi.
Album Mohon Doa Restu ditutup dengan lagu berbahasa Inggris, “Those Dream”. Terdengar alunan ukulele, gitar, dan usaha menjaga harapan di tengah kehilangan yang tak bisa dihindari.
Dua bonus track melengkapi Mohon Doa Restu. Dalam dua lagu imbuhan itu, Coconightman menjadi begitu nakal. Nakal, karena dengan vulgar menghadirkan fenomena sosial dan tingkah-polah manusia yang kita sudah tahu sama tahu.
Bonus track pertama berjudul “Canggu People”. Tenang, ini bukan gambaran menyeluruh tentang orang-orang di Canggu. Hanya sepenggal cerita yang dijadikan lagu sederhana ala Coconightman.
“Canggu People” menyoroti kelakuan narsis atau sikap sok artis. Canggu adalah desa yang kini mengalami kemajuan begitu pesat, mungkin melampaui laju kota.
Yang menarik adalah pilihan kata yang digunakan.
Punya lubang masih cari lubang. Dasar manusia tak ada puasnya.
Punya batang masih cari batang. Dasar nafsu wanita suka eksplorasi.
Sebuah gelitikan dalam melihat realita. Persoalan ketidakpuasan tidak hanya milik laki-laki. Perkara suka main-main (eksplorasi) juga bukan perkara perempuan saja. Jika itu dianggap sebagai persoalan, tentu itu persoalan manusia. Dengan memberi judul “Canggu People”, Coconightman seolah ingin menggunakan fenomena kecil untuk menggambarkan fenomena yang sudah menjadi rahasia umum.
Saksofon dalam lagu “Canggu People” menjadi semacam gula yang memberikan rasa manis untuk teh jika merujuk pada “satu celup saja langsung ke KUA”. Lagu ini menjadi minuman bersoda untuk mencegah masuk angin bagi orang yang tidak mendengar nasihat Coconightman:
Sudah kubilang jangan keluar malam. Nanti masuk angin minum tolak angin.
Sudah kubilang jangan keluar dalam. Nanti masuk bui minum susu nasi.
Lagu ditutup dengan wejangan untuk tidak ke Canggu lagi agar tak mengalami hal-hal yang berpotensi terjadi, seperti pertemuan dengan “cewek Finlandia”.
“Pak Haji Santoso”, bonus lagu berikutnya, adalah sebuah pengakuan seorang anak yang menjadi nakal, tapi tak ingin disalahkan. Ia seolah terjebak dalam kebimbangan, antara kenikmatan yang dirasakan dan standar moral yang dijejalkan pendidikan.
Itulah problem utama anak rantau. Kontradiksi antara indoktrinasi keluarga yang melekat dalam pikiran dan realita yang harus dijalani. Lirik yang begitu vulgar terkesan berkonotasi pornografi. Namun sebenarnya itu tergantung pada asumsi masing-masing individu yang mendengarnya.
Sebuah karya seni tentu tak harus dipandang dengan standar moral yang paranoid akan pornografi. Permainan lirik yang dilakukan bisa jadi usaha mengikis tabu yang berlebihan pada sesuatu yang sebenarnya biasa-biasa di sekitar kita.
Ukulele, gitar akustik dan perkusi merupakan instrumen yang digunakan dalam proses persetubuhan Coconightman untuk meramu musik folk rasa Hawaii dengan tema lokal yang dekat dengan keseharian mereka. Mohon Doa Restu, anak pertama Coconightman, bisa menjadi sebuah cerita anak rantau yang melihat fenomena yang terjadi di tempat mereka mengadu nasib.
Tema yang cukup serius dikemas secara sederhana, seperti dalam lagu “Tikus-Tikus” dan “Aku Manusia”. Namun Coconightman juga tidak menampik tema personal.
Kehadiran Coconightman tentu saja menambah kekayaan musik folk di Bali, baik dari segi komposisi maupun tema lagu. Mereka menambah ragam, memberikan kesegaran, menyemarakkan percaturan musik, dan tentu saja memanjakan penikmat musik.
Mohon Doa Restu dirilis di bawah naungan Srawung Records. Album ini sudah bisa didengarkan secara online di portal seperti Spotify, Deezer atau Youtube.
Selamat datang, Coconightman. Selamat atas kelahiran anak pertama kalian, Mohon Doa Restu, album nakal humanis penuh kasih.
L. TAJI, penulis dan fotografer
Leave a Reply